Bab 8 (Mulai Khawatir)

23 3 0
                                    

Satu penghalang sudah aku singkirkan, Darial Sayang. Tinggal satu orang lagi. Kamu hanya milikku seorang. Selamanya.

***

Tabrak lari yang menimpa Dewi kemarin membuat perempuan itu cidera. Kakinya lumpuh sementara, tak bisa digerakkan sama sekali. Seperti mati rasa. Kejadian itu meninggalkan trauma tersendiri, bahkan seringkali sekelebat bayangan akan mobil yang menabraknya terbayang, membuat Dewi tanpa sadar meneteskan air mata. Keadaan ibunya yang belum stabil, ditambah keadaannya sekarang ini sangat menyiksa psikis. Perempuan berlesung pipit itu hanya bisa tersenyum miris. Beginikah takdir yang dituliskan Tuhan untuknya?

“H-hai, Wi. Boleh aku masuk?” tanya Darial dari depan pintu. Dewi segera menghapus air mata, tak boleh terlihat lemah di hadapan Darial. Bahkan di depan siapa pun.

“Masuk aja, Dar,” jawab perempuan itu dengan suara yang sedikit serak. Dia memaksakan senyum lebar di wajahnya yang kini terlihat pucat pasi. Mata sayu dan memerah akibat tangis.

Darial menghela napas pelan, pemuda itu tahu persis apa yang dirasakan Dewi saat ini. Terpukul. Sedih. Perempuan itu pasti tidak dalam keadaan baik-baik saja.

“Kata dokter, kaki kamu bakal bisa jalan seminggu lagi. Kamu jangan patah semangat, ya.”

Dewi mengangguk, kembali memberikan sebuah senyuman kepada Darial. “Tapi, gimana sama liburan kalian? Maaf, gara-gara kecerobohan aku, liburan kalian jadi tertunda.”

Darial hanya menggeleng sekilas. Pemuda itu mengambil sebuah apel di atas nakas, lantas mengupasnya dengan telaten. Seteleh buah apel tersebut bersih dari kulitnya, Darial memberikannya kepada Dewi. Tidak, pemuda itu bahkan menyuapkan potongan apel tersebut langsung ke mulut Dewi.

“E, nggak usah, Dar. Aku bisa makan sendiri, kok. Nggak usah repot-repot. Kamu kupasin aja aku udah makasih,” ucap Dewi sambil menolak halus. Melihat pisau yang dipakai Darial untuk mengupas apel, dia jadi teringat kiriman dari orang misterius tempo hari.

JANGAN DEKATI DARIAL!

Pintu terbuka tiba-tiba, di sana terlihat Rosi, Velis yang datang sembari membawa sekresek makanan di tangan masing-masing. Di belakangnya, ada Lily yang duduk manis di kursi roda, di sampingnya ada Reano.

“Ah, kalian. Silakan masuk,” ujar Dewi mempersilakan mereka berempat masuk. Masing-masing dari mereka meletakkan barang bawaannya di meja, sebelah ranjang Dewi.

“Selamat ulang tahun ya, Dew. Maaf telat ngucapinnya. Kemarin kamu pingsan,” ucap Lily yang sudah berada di samping kanan Dewi. Gadis itu menyerahkan sekotak bingkisan yang entah berisi apa kepada Dewi. Reano yang di belakangnya juga menyodorkan seikat bunga dan juga cokelat batangan—yang cukup besar—kepada Dewi.

“Ah, kalian nggak perlu repot-repot sebenarnya. Terima kasih, ya.”

“Ini juga ada makanan buat kamu, Dew. Kami tahu, makanan rumah sakit pasti hambar,” celoteh Rosi. Gadis berambut gelombang itu menyerahkan dua kresek makanan yang dibawanya dengan Velis.

“Ini baju gantimu.” Singkat dan jelas. Velis meletakkan satu kresek lagi di tangannya di atas nakas. Lalu berlalu dan duduk di sofa yang tersedia di ruangan serba putih itu.

“Ah iya. Selamat ulang tahun. Di umur kamu saat ini, kamu malah mendapat musibah. Yang sabar ya, Dew. Pasti semua ada hikmahnya,” hibur Rosi sambil mengelus lengan Dewi yang tidak tertancap jarum infus. Gadis itu menarik kursi yang ada di sebelah Darial, lalu mengeluarkan sebuah novel dari dalam tasnya. Lalu tanpa disuruh, dia mulai menceritakan tentang isi novel tersebut ke semua orang. Aktif sekali.

“Dew, selamat ulang tahun sekali lagi, ya. Aku mau anterin Lily ke kamar dulu. Udah waktunya dia minum obat sama istirahat.”

Dewi mengangguk mengiyakan. Dalam hati iya membatin, bosnya sedang jatuh cinta. Dewi dapat melihat binar cinta dan kasih sayang yang sangat besar di mata Reano untuk Lily. Semoga mereka bahagia.

“Ros, Dar, Vel, aku pamit dulu, ya.” Lily bersuara dengan nada kecil, gingsul di sebelah kanan atas gadis itu terlihat saat tersenyum.

Veli beranjak dari sofa, lantas berjalan mengikuti Reano dan juga Lily yang keluar dari kamar. “Aku ikut kamu ya, Ly.”

“Boleh, Vel. Ayo.”

Akhirnya mereka bertiga keluar dari kamar Dewi. Setelah kepergian mereka bertiga, Rosi kembali bercerita. Bukan tentang isi novel yang dibawanya saat ini, namun soal penulisnya. Gadis itu mengatakan jika penulis itu sangat terkenal dan menjadi salah satu penulis favoritnya. Dewi dan Darial hanya mendengarkan, sesekali menjawab celotehan Rosi jika dirasa memang perlu.

***

“Vel, kamu nggak apa-apa?” tanya Lily saat mereka sudah sampai di ruangan gadis itu. Sejak keluar dari ruangan Dewi, wajah Velis terlihat sangat sendu. Tiba-tiba Velis menangis tersedu-sedu, membuat Lily dengan refleks langsung memeluknya.

“Sakit banget, Ly. Rasanya sakit banget. Hiks.”

Lily tak mengatakan apa pun, gadis itu hanya mengelus pundak Velis secara perlahan dan teratur. Semoga Reano lama membeli minuman di luar. Saat ini, kedua sahabat itu hanya butuh waktu untuk sendiri. Urusan perempuan. Bicara dari hati ke hati.

Di Balik Wisata Jogja (PROSES TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang