Prolog

40 5 0
                                    

Kilas balik

"Tolong ...."

Seorang gadis berjalan tertatih. Tubuhnya tak ada yang tak sakit. Semuanya terasa ngilu, namun ia masih memaksakan diri untuk terus berjalan, mencari pertolongan di jalan yang sepi ini tak peduli apa pun kemungkinannya.

Bugh!

Sesuatu yang besar menghantam keras tubuhnya, membuatnya terpental beberapa meter. Ia merasa setengah nyawanya melayang saat terlempar, lalu badannya bergumul dengan aspal, dan kepalanya terasa sakit luar biasa begitu menghantam sesuatu dengan keras, rasanya seperti isi kepalanya diguncang. Tak menunggu waktu lagi, kesadarannya langsung ditarik paksa ke lubang gelap, ia pingsan.

Sementara itu, mobil yang barusan menabraknya itu, kini bagian depannya penyok karena setelah hilang kendali, sang pengemudi menubrukkan mobilnya pada pohon besar. Si pengemudi sendiri terkulai di atas stir dengan darah di dahi yang mengalir, melewati pelipisnya dan tak mau berhenti menetes juga.

Keduanya kritis. Malaikat maut telah mengintip dari pepohonan di sana, dan pergi beberapa saat kemudian. Hari ia tak akan bertugas. Mereka tetap hidup dengan ajaibnya.


***


"Maafkan aku atas segalanya," ujar pria itu seraya menghapus kasar air matanya yang sialnya tak bisa ia cegah untuk turun padahal selama ini ia adalah seorang yang tangguh dan bukannya mudah menangis seperti ini. Dia mengusap batu nisan itu dengan perasaan tercabik-cabik.

"Kau seharusnya tak mengakhiri hidupmu seperti ini, aku masih menyesal," ratapnya lagi seraya memandang nanar nama di nisan itu, Gerald Seo.

Hubungan terlarang mereka benar-benar sama sekali tak disesali oleh pria itu. Ia bahkan tahu bahwa alasan istrinya yang menceraikannya karena dia gay, hanyalah sebuah muslihat karena istrinya sendiri telah selingkuh di belakangnya selama ini. Ia mengenakan alasan itu untuk meninggalkannya, dan hidup bersama pria lain yang bahkan sudah sering tidur bersama istrinya sejak lama. Karena itu ia tak pernah melepaskan Gerald. Hanya Gerald satu-satunya yang bisa ia percaya, dan kini ia telah tiada, betapa mirisnya.

"Aku akan menjaga San dengan baik, kau tenanglah di sana."

"Ayah, hujan hendak turun, sebaiknya kita pulang."

Pria itu memandang sosok pemilik suara barusan, lantas tersenyum hangat mengabaikan matanya yang masih sedikit berair.

"Iya, San, kita pulang sekarang."

Kilas balik selesai


***


"Saya benar-benar tak tahu harus pergi ke mana, jadi maaf jika merepotkan Paman," ujar gadis itu seraya menggeret kopernya, mengeluarkannya dari mobil disusul badannya. Paman yang ia maksud tertawa pendek.

"Jangan sungkan begitu, sesama manusia sudah sepatutnya untuk saling menolong."

Gadis itu tersenyum berterimakasih lantas mengikuti langkah pria paruh baya di depannya yang berjalan menuju rumah berlantai dua dengan garasi yang luas di sampingnya.

"Paman ...," bingungnya begitu si paman benar-benar berjalan menuntunnya ke arah rumah super bagus itu.

"Kamu akan tinggal di sini, bersama beberapa anak lain yang tidak begitu banyak karena paman memang tidak membuka panti ini untuk umum. Hanya untuk orang-orang seperti kamu yang ditakdirkan bertemu dengan paman, kamu senang?"

Gadis itu masih melongo, takjub dengan semua hal baru ini.

"Terimakasih banyak, Paman, terimakasih banyak," ujar si gadis seraya membungkukkan badan berulang kali. Paman itu tertawa kecil lagi, meraih bahu si gadis agar berhenti dari  membungkuknya, dan menepuk pelan pucuk kepalanya.

"Selamat datang di Panti Asuhan Destiny, Ran."


TBC^^

A/N: Debut cerita Fanfiction yeorobun, hehe. Terimakasih sudah mampir, kritik dan saran selalu diterima dengan suka hati^^

Sekian, salam kecap, biuu :"

Panti Asuhan DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang