Daydream

524 62 12
                                    

Malam itu bulan berwarna merah. Langit berubah marah, suasana terasa mencekam, angin bertiup kering menerbangkan dedaunan yang gugur.

Dia diperintahkan untuk pergi, bersembunyi bersama beberapa orang dewasa lainnya untuk menyelamatkan diri. Tempat tinggal mereka berubah menjadi neraka, tak terkendali.

Dalam pelarian, bocah kecil berambut coklat itu melihat sebuah rumah tua yang sangat dikenalnya dengan cat berwarna oranye. Rumah itu kini tanpa penghuni, dan dirinya mencemaskan seseorang yang seharusnya tinggal di sana.

"Kris! Apa yang kau lakukan!?"

Bocah itu tak peduli meski orang-orang dewasa memanggil namanya dan meneriakinya agar kembali. Dia tidak bisa diam saja, karena dia berpikir pasti penghuni rumah oranye itu kini sedang ketakutan, dan dirinya akan menyelamatkannya.

Tapi rumah itu kosong, isinya berantakan, seperti rumah-rumah lainnya. Tapi dia tidak berhenti, dia mulai mencari. Mengandalkan Indra penciuman yang dimilikinya, mengikuti aroma tertentu yang membawanya jauh meninggalkan keramaian, membawanya masuk ke dalam hutan.

Bocah itu merasakan suasana yang berbeda, seperti banyak mata menatapnya. Dibalik semak-semak, pepohonan, di mana saja. Hal itu tidak membuatnya takut, ia dilahirkan tanpa rasa takut. Membawa kakinya berlari menerobos semak belukar dan jalur berbahaya di dalam hutan, ia sampai di sebuah tempat terbuka tanpa adanya pepohonan dan hanya rumput pendek di sana.

Aroma yang dicarinya semakin kuat di tempat itu, berdiri diam ia menatap lurus ke sebuah titik yang tergeletak di atas rumput.

Sepasang matanya yang keemasan berkilat, bocah itu berteriak memanggil. Pada sosok kecil yang tergeletak tak berdaya dan sedikitpun tidak bergerak, namun kedua matanya terbuka. Ia berusaha menyadarkan bocah yang tubuhnya jauh lebih kecil, namun tidak ada respon.

Bau darah sangat menyengat, bocah berambut coklat tidak tahu apa yang sudah membuat temannya terluka separah itu. Menatap sekeliling ia juga tidak merasakan tanda-tanda orang dewasa yang seharusnya melindungi bocah berambut hitam.

".....kau akan baik-baik saja, aku janji"


.

.



Matahari mulai terbenam, berwarna oranye keemasan yang indah. Suara bising ponsel yang berdering membangunkan Kris yang terlelap di sofa panjang di ruang tamu apartemen. Dan tampaknya ia sangat enggan untuk beranjak dari sofa abu-abu yang cukup nyaman untuknya.

Surai coklat muda miliknya mencuat, helaan nafas pendek meluncur dari mulutnya. Tangannya yang panjang meraih benda yang tak kunjung berhenti berdering, dengan alis menukik ia memeriksa ponselnya yang mendapat beberapa notifikasi.

Melihat jam yang masih menunjukkan pukul setengah lima sore, pria berkulit pucat itu menghela nafas kasar, kali ini lebih keras. Tentu saja ia kesal karena telah istirahatnya diganggu, terlebih tampaknya laki-laki tampan itu mulai sibuk memikirkan sesuatu.

Kris memutuskan untuk bangkit, meletakkan ponselnya kembali di atas meja, dan berjalan mendekat ke arah balkon yang tertutup. Sosoknya yang tinggi tegap bermandikan cahaya matahari sore yang membuat Kris seolah bercahaya.

Membuka pintu balkon, sembari menikmati angin sore, ia menjatuhkan pandangannya pada jalanan sibuk di bawah sana yang tanpa jeda. Kris menyilangkan kedua tangannya di dada, sebagian tubuhnya bersandar di pinggiran pintu balkon.

Banyak hal yang menyambangi kepalanya saat ini, salah satunya adalah mimpi ia dapatkan sebelum terbangun karena suara telepon.

"Aku harus berangkat bekerja" ujarnya pada diri sendiri. Sebuah peringatan agar ia tak terlalu memikirkan mimpi yang ia dapatkan.

THE WISHES (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang