Part 7

12 0 0
                                    

Sudah tiga minggu sejak kepulanganku ke Surabaya, dalam kurun waktu tersebut Firhan terus saja menghubungiku. Walau tak pernah sekalipun aku meresponnya, tapi dia masih saja gigih menghubungi. Entah apa maunya.

Nina sudah tahu kejadian di Jakarta waktu itu. Aku yang bercerita padanya. Menurut Nina aku harus mendengarkan alasan Firhan,agar semua lebih jelas. Tapi aku tidak setuju. Bukankah dia juga sudah mengatakan kalau sudah bertunangan? Untuk apa lagi aku harus mendengarkan alasannya? Untuk membuatku lebih sakit hati? Penghianatan bagiku tetap saja penghianatan. Aku tidak mentolerir hal demikian. Meski kenyataannya rasa sayangku padanya masih ada. Bagaimanapun hubungan kami sudah lumayan lama. Bahkan aku sudah yakin untuk mengakhiri masa lajangku dengannya. Tapi Tuhan berkehendak lain.

Papa dan mama yang juga sudah tahu selalu menasehati agar aku lebih sabar dan tidak berlarut-larut dalam masalah ini. Mungkin aku dan Firhan tidak berjodoh, itu kata mereka. Bahkan mereka menawarkan untuk mengenalkan anak dari temannya. Huh! Apa-apaan itu? Belum juga sebulan aku sudah disuruh cari pacar lagi, apa mereka ingin anaknya terlihat seperti gadis gampangan? Ada-ada saja.

Aku yang biasanya sejak pukul lima sudah mandi dan rapi,tapi tidak untuk hari ini. Karena ini Minggu,aku sengaja bermalas-malasan di kamar. Sudah pukul delapan tapi aku belum mandi dan turun untuk sarapan. Padahal dari tadi mama sudah berkali-kali mengingatkan segera turun. Masa bodoh!

Sambil membolak-balik halaman salah satu majalah fashion di Indonesia, mulutku tak berhenti merapalkan lagu dari Alan Walker yang sengaja kuputar lewat laptop di sampingku. Aku memang penggemar musiknya. Sebagian besar lagu-lagunya sudah kuhafal diluar kepala. Entahlah, aku suka saja dengan musiknya yang khas itu.

Saat asyik sendiri, tiba-tiba saja mama masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk sambil berkacak pinggang. Aku spontan menoleh ke arahnya.

"Ma, kok nggak ketuk dulu sih?".

Mama melesat dan dengan sigap menjewer telingaku, aku mengaduh kesakitan. "Aduh duh duh,sakiiiiit.... Kenapa jewer aku sih, Maa??" Kuusap-usap telingaku yang mungkin sudah memerah.

"Kamu tuh ya,anak gadis jam segini belum mandi. Ayo cepat bersihkan badan lalu turun ke bawah. Ada yang ingin ketemu". Mama masih bersungut-sungut.

"Ini kan Minggu, biasanya juga gitu!"

"Masih berani jawab,ya? Kalau tetep gak nurut papa yang turun tangan!" Ancam mama.

"Iya,iya...",aku menyerah.

Dari dulu aku lebih dekat dengan papa daripada mama. Papa orangnya kalem tapi jangan tanya saat beliau lagi marah,nyeremin. Papa memang tegas jika menyangkut peraturan dan pekerjaan. Tapi beliau enak kalau diajak sharing. Berbeda dengan mama yang terlalu lebay dalam menanggapi, yang maunya cerita satu hal malah lari kemana-mana.

Aku berlari ke kamar mandi. Tapi aku ingat sesuatu," Ma, ada siapa sih di bawah? Tamu mama kah?". Kubuka lagi pintu kamar mandi.

"Mandi saja dulu,nanti juga tahu...". Mama mulai melembut sambil tersenyum.

"Ah gak asik! " Ku tutup pintu lagi dan melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.

Setengah jam kemudian aku sudah selesai. Dengan hanya memakai kaus putih polos dan rok jeans selutut aku turun ke bawah. Rambut kujepit keatas dengan asal.  Sampai di pertengahan tangga aku berhenti. Mama dan papa sedang berbincang dengan seseorang yang sayangnya aku tidak tahu siapa. Dia duduk membelakangiku, hanya punggung yang terlihat. Semakin dekat jarakku dengan mereka, aku merasa familiar dengan suara itu. Aku jadi enggan untuk turun dan berniat untuk kembali ke kamar. Baru saja berbalik sebuah suara menginterupsi dari bawah.

"Nessa, kamu mau kemana sayang kok balik lagi? Satria sudah menunggu sejak tadi". Mama memanggil.

Aku tersenyum kecut lalu berjalan ke arah mereka. Gak jadi balik.

"Pagi,Pa.".Kusapa papa sambil mendudukkan diri di sampingnya.

"Pagi,sayang", papa merangkul bahuku, "Satrianya kok nggak  disapa?" Lanjutnya lagi sambil melirik kearah Satria.

"Hai",sapaku asal. Mama melirik tajam kearahku sedangkan papa hanya tersenyum tipis.

Satria memandangku dari atas ke bawah dengan tatapan menilai. Aku semakin kesal, "Ngapain lu pagi-pagi kesini?".

"Nessa,yang sopan," papa mengingatkan. Aku hanya mengangguk lemah.

"Tidak apa-apa, Om" Satria menimpali.

"Ada perlu apa kamu kesini? Kita nggak ada janji temu kan?" Kutatap tajam kearahnya dengan sinis. Papa yang ada di samping menepuk pundakku pelan.

"Hanya ingin ngajak jalan, kalau kamu tidak keberatan", Satria menjelaskan.

"Aku sibuk".

"Nessa, bukannya dari pagi kamu juga malas-malasan saja di kamar? Ikut saja dengan Satria." Mama memberi opininya. Tapi bagiku itu seperti perintah tak terbantahkan.

Kulirik papa meminta bantuan, tapi beliau mengangguk, mengiyakan saran mama. Aku menghela nafas, lalu berdiri.

"Mau kemana?" Mama bertanya.

"Ganti baju lah Ma,masak pakai ginian?". Mama tertawa. Aku berjalan ke kamarku lagi, di lantai 2. Setelah mengganti baju dan mengambil tas aku turun lalu menghampiri kedua orang tuaku untuk berpamitan dan segera pergi bersama Satria.

Dalam perjalanan entah kemana, hanya alunan musik di mobil yang memecah kesunyian. Sesekali Satria melirik kearahku sambil tersenyum.

"Ngapain sih lu kerumah? Kita gak sedekat itu!" Aku mulai membuka pembicaraan. Satria cuma tersenyum. Lalu hening.

"Mau kemana?" Aku dan Satria bertanya bersamaan.

"Ah,kita ternyata sehati," Satria melanjutkan sambil melirik senang.

"Jangan berlebihan".

" Itu tidak berlebihan,Nessa".

"Lu mau ajak kemana? Gue tadi belum sarapan gara-gara lu datang tiba-tiba. Harusnya lu kabari dulu kalau mau kerumah,biar gu..."

"Biar kamu ada alasan kalau sedang sibuk atau pergi dengan temanmu?"

Aku terdiam. Pertanyaan Satria atau lebih bisa dibilang pernyataan memang benar. Sangat benar bahwa aku tidak akan mau menerimanya menjadi tamu kalau dia menghubungi dulu.

"Sudahlah,lupakan saja. Bagaimana kalau bakso di depan perempatan jalan sana? Kamu tidak keberatankan makan di tempat seperti itu?" Satria meminta persetujuan.

Aku menatap sinis kearahnya," Asal tempatnya bersih".

"Tentu saja".

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Re*


26 Desember 2021, 21.40

KETIKA CINTA HARUS MEMILIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang