04. Supper Together.

2 0 0
                                    

Dering bel terakhir terdengar lantang ketika jarum jam pendek menunjuk angka tiga. Siswa-siswi SMP berhamburan ke luar kelas seusai para guru mengakhiri jam pelajaran mereka. Ada yang langsung pulang ke rumah, ada pula yang menjalani kegiatan ekstrakurikuler. Mereka yang melakukan aktivitas di luar itu pun juga ada, termasuk diriku pada sore Senin itu. Natalia mengajakku makan di luar bersamanya, dan aku berjanji akan hadir.

"Dam, gua ikut makan sama temen yang tadi pagi lu bicarain, boleh?" tanya Ahmad yang sedang berjalan keluar kelas di sampingku. Ketika aku sudah berada di koridor luar, aku berpikir sejenak sebelum kujawab pertanyaan dari Ahmad. "Gak tau. Ntar gua tanyain, deh," kataku. Sebaiknya aku menanyakan Natalia, apakah dia keberatan jika aku mengajak teman sekelasku ikut makan bersama.

Saat ku sudah berada di luar kawasan sekolah, saatnya aku membangunkan apa yang seharian itu kusembunyikan di tempat rahasia: ponselku. Baru sebentar kunyalakan perangkat tersebut, sudah kudapatkan beberapa notifikasi di BBM. "Adam, gak lupa kan?" Pesan itu kudapatkan dari Natalia. "Gak lupa lahh", balasku.

"Oh ya, boleh ga gw ajak temen sebangku gw? Dia tiba2 kepengen wkawkawka", tulisku lagi.

Balasan yang kuterima sama sekali tak terduga.

"Nggak"
"Aku cuma mau makan sama kamu"

Kacamataku seakan-akan dibuat retak oleh sinaran layar ponselku yang menunjukkan balasan tersebut. Tanganku membatu, sukar untuk mengetik balasan. Tatapanku terus saja terpaku ke pada layar ponsel. Dalam dadaku terasa degup yang kian mempercepat, entah apa sebabnya. Seakan ditonjok di dada, aku mendapatkan tonjokan kedua ketika balasan berikutnya muncul. Double kill.

"Aku kan gak bilang kamu boleh bawa temen"

Jemariku perlahan-lahan bergerak lagi, mengetuk papan ketik di layar. "Yaudah deh, ntar gw dateng kok", balasku. Secepat kilat, pesan balasan datang lagi. "Jangan lupa ya, 6:30 di OFC", yang kubalas dengan "Okk siap". Kupikir, lebih baik kukabari Ahmad tentang kegagalan 'makan bertiga'. Oleh sebab itu, aku langsung berpindah obrolan ke Ahmad. Aku menulis, "Mad, sori yak", "Katanya gblh, dia cuma pengen makan sama gw". Aku benar-benar merasa tidak enak pada Ahmad. Semoga dia tidak kecewa, itulah harapanku ketika kukirimkan pesan itu. Akan tetapi, dia membawa asyik segala hal yang dihadapinya. "DIH KOGITU DAH WKAWKAWKAKWAWK", balasnya. Ia menambahkan, "Wadoh jangan-jangan temen lu yg itu cewek, terus doi naksir sama lu >:^))".

Namun, apakah benar seperti itu?

Kurasa tidak mungkin. Kami baru dua hari bertemu. Dua hari terlalu cepat.

Kutangkis spekulasinya dengan, "Ga mungkin lah wkwkwk", "Gua ketemuan juga baru Sabtu kemaren". Aku pun belum merasakan hal sedemikian rupa saat itu.

Aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu sebelum pergi lagi ke restoran ayam itu, sebab aku ingin mandi. Bersih-bersih sebelum bertemu dengan seseorang adalah hal yang pantas, bukan? Kukenakan pakaian yang terasa cocok untuk situasi itu. Kaus putih berlogo, kemeja tipis dengan kancing terbuka, dan sepasang celana denim, semua terpakai. Sudah rapi-rapi, sudah shalat, merasa sudah siap, kubawa tas selempang kecil berisi ponsel dan dompet sebelum aku pamit kepada Ibu. "Bu, aku pergi makan di luar dulu, ya," ucapku kepada Ibu sembari bersalim padanya. "Cakep amat baju kamu, Dam. Padahal Senin, lho. Yang penting, hati-hati, ya!" balas Ibu. Kala ku keluar ruang keluarga, dapat kudengar perbincangan antara Ibu dan Renata, kakak terdekatku dengan jarak umur delapan tahun. "Ah, kayaknya sama temennya Kanaya yang kemaren deh, Bu," kata Renata. Ibu membalas, "Bisa jadi, bisa jadi..." lalu mereka tertawa. Sudahlah, lebih baik aku berangkat daripada terlambat dan diomeli Natalia lagi.

18:33 tertera di jam tanganku. Tiga menit lebih lama dibandingkan waktu yang dijanjikan. Ada kepadatan lalu lintas yang tak kuduga di satu ruas jalan di ruteku menuju restoran cepat saji itu. Ketika itu, aku berlari secepat mungkin ke pintu depan Obviously Fried Chickens, dan sudah kudapati Natalia berdiri, bersandar pada sebuah dinding. Tangannya terlipat, dan pandangannya beralih kepadaku. "Telat," katanya. "Kamu tahu, kan, sekarang jam berapa?" tanya gadis itu setelahnya. Lantas kuperiksa jam di pergelangan tangan kananku, terlihat angka 18:34. Tampaknya aku membuang waktu semenit untuk berlari. Napas kubuang panjang, lalu aku menjawab ucapannya. "...Tau, elah. Cuma empat menitー"

  "Pokoknya kamu telat," tukasnya. Aku hanya mampu mengiyakan.

  "Iya, Nat..."

  Natalia kemudian langsung masuk antrean. "Udah, ayo sini," kata Natalia sembari menoleh kepadaku. Kubalas dengan anggukan, lalu aku berjalan santai ke sisinya. Orang-orang di depan kami memesan dan membawa makanan mereka, satu per satu, berulang kali, hingga aku dan Natalia berada di depan meja kasir. "Ayam original satu, Mbak, sama FreshTee," ucap Natalia kepada kasir sebelum ia menoleh kepadaku dan menyahut, "Adam?" Lantas aku telusuri seisi menu di atas. Daripada membuatnya menunggu, aku langsung memilih. "Ori Burger-nya satu, minumnya Bepis." Sang kasir mengulang pesanan kami sebelum dikonfirmasi dan dibayar. Kami membayar pesanan kami masing-masing, kemudian menunggu sesaat. Namanya juga restoran cepat saji, tidaklah janggal jika pesanan sudah siap dua hingga sepuluh menit setelah dipesan.

  Masing-masing dari kami membawa pesanan kami menuju sebuah meja. Kami duduk berhadap-hadapan. Dalam kalbu ku berdoa sebelum aku mengambil gigitan pertama pada burger ayam di genggamanku. Aku terus melahap, hingga kulihat Natalia meletakkan sendoknya di dekat nasinya yang belum dihabiskan tiga perempatnya. "Yang tadi..." Ia membuka suara. "Maaf ya, kalo aku... Kayaknya nyebelin. Tapi emang gini aslinya..." Kegiatanku ikut kuhentikan sejenak agar aku dapat mengikuti obrolan dengannya setelah kutelan gigitan sebelumnya. "Oh, itu... Gak pa-pa, cuma gitu doang mah santai aja," balasku seraya menunjukkan senyuman lembut. Mungkin karena itulah, Natalia ikut tersenyum kepadaku.

  Lagi-lagi kugigit makananku, dan pada saat itu kudengarkan perkataannya. "Sebenarnya aku ngajak kamu makan karena aku mau minta maaf pas di rumah kemarin..." Oh, saat itu. Waktu berkenalan dengannya, dan waktu aku membantunya merekam beberapa adegan. Tegas, sih, tapi bagiku tidak menyebalkan. "Waktu itu, aku kedengeran nyebelin, ya?" tanya Natalia, yang kemudian kubalas dengan iringan geleng kepala. "Enggak, kok, cuman... Gimana, ya?" Selagi aku menyedot beberapa teguk soda dari gelas, bola mataku mengarah ke langit-langit; aku berpikir akan kelanjutan kalimatku. Mulutku melepaskan sedotan kala kutemukan dua patah kata. "...Kaku aja," lanjutku.

  Mataku kembali menatap paras Natalia yang saat itu dipenuhi kebingungan. "Kaku?" tanyanya sebelum melahap nasi dan ayam goreng miliknya. "Banget," jawabku sambil mengangguk satu kali, mengingat bagaimana kakunya ia dalam berbicara. Hari itu, pula Sabtu itu. Kaku dan tegas, menurutku. "Kalo hidup mah, nyantai aja, tapi jangan kebablasan juga," tambahku. Natalia langsung menatap tepat ke arah kedua mataku, kemudian ia berucap, "Nyantai dalam artian apa dulu, nih? Kalau urusan belajar, aku nggak akan." Benar-benar serius dan rajin, itulah impresiku tentangnya sejak itu. "Ya bergaul, lah. Kan aneh kalo terlalu sopan atau terlalu serius sama temen sendiri. Santai aja, let it out."

  Tawa yang belum pernah kudapati dari Natalia sebelumnya, muncul seusai aku berucap. Ia benar-benar tertawa di hadapanku dengan senyuman yang lembut nan enak dipandang. Kurasa ia mulai berubah. "Kamu beda banget dari cowok-cowok di kelasku," ucapnya tentang diriku. "Hah?" Aku penasaran, apakah yang berbeda dari diriku. "Beda gimana?" tanyaku. "Jadi gini... Kamu gak terlalu banyak mikirin hal, kan?" Pertanyaanku dibalas dengan pertanyaan lain. Nyatanya, jawabannya ada dari diriku. "Enggak, sih. Aku cuma mikir yang penting-penting aja." Lagi-lagi, kudapati perbedaan yang amat kontras dengan impresi pertamaku dari Natalia. Nada bicaranya terdengar sedikit lebih ceria. "Kan! Kamu pasti tipe-tipe yang kayak gitu! Nyantai banget!" Tak hanya itu, kudengar tawa kecil mengakhiri kesimpulannya. Natalia seakan menjadi orang yang 180 derajat berbeda. Makanya, situasi kurasa canggung. Tawaku pun juga menunjukkan rasa itu. Kami berdua melanjutkan makan lagi seolah tidak terjadi apa-apa, sampai makanan kami berdua habis tanpa sisa.

  "Jadi, Dam..." Canggung seketika sirna. Untung Natalia membuka topik lain. "Aku ngajak kamu makan berdua di sini, juga karena aku mau ngenal kamu lebih dekat." Aku dibuat bingung. Mataku membuka sedikit lebih lebar, kutatap kedua matanya seraya bertanya, "Ngenal gua... Lebih deket?" Selagi aku bertanya-tanya, Natalia tersenyum lembut. "Soalnya, Naya cerita tentang kamu mulu, jadinya aku penasaran sama kamu, bener 'gak kamu itu orangnya kayak yang dia ceritain di BBM." Ah, ternyata Kanaya biangnya. Andaikata dia tidak membicarakanku dengan Natalia, makan malam itu takkan terjadi. Bibirku membulat, "Oh..." ucapku.

  Natalia beranjak dari kursinya. "...Hmm, kayaknya udah dulu, deh. Mending pulang, kan besok sekolah." Aku ikut berdiri, selepasnya kuanggukkan kepalaku. "Iya, nih. Besok gua mesti pagi, pula..." balasku. "Yaudah... Kalo gitu aku duluan, deh." Iapun mulai berjalan menuju pintu keluar. Aku mengikutinya hingga kami berada di luar. Kulihat wajahnya menampakkan senyuman selagi ia menatapku. Sebelum kami berdua berpisah malam itu, ia berucap,

  "Makasihya, Dam. Makasih buat supper-nya."

AtasWhere stories live. Discover now