Bagus. Aku berniat untuk menyegarkan pikiran darinya, tetapi malah bertemu secara kebetulan. Benar-benar pertemuan yang sama sekali tidak kuharapkan. Aslinya, aku ingin mengajaknya keluar esok harinya, namun pertemuan malah tertarik satu hari ke belakang. Dan tampaknya aku salah mengambil keputusan untuk menyahut namanya; kami malah berdiam di tempat dan tidak menyahut lagi. Canggung. Pandangan kami kembali ke tujuan utama masing-masing; Natalia kembali menatap rak buku lalu aku menatap ke jajaran alat tulis di mana Ahmad sedang mencari barang...
...dan menatap ke arahku.
Mungkin sahutanku tadi, juga sahutan dari Natalia, membuat Ahmad bingung. "...Dam, lu kenapa?" tanya Ahmad seraya berdiri, lalu menatap ke bagian buku. Dengan pulpen barunya mengarah ke Natalia yang saat itu sedang melihat-lihat buku, Ahmad bertanya, "Itu ya yang namanya Natalia?" Masih dibuat bisu oleh kecanggungan sebelumnya, aku hanya mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaannya. Selang beberapa detik kemudian, kulihat dia tersenyum tipis. "...Oh, iya. Katanya lu mau beli komik," katanya sambil mengembalikan posisi tangan ke sampingnya, "gua bayar ini dulu, dah. Lu kalo mau nyari komik sendiri gak pa-pa."
Akhirnya, Ahmad pergi meninggalkan TKP, menyisakan aku di sisi timur toko dan Natalia di sisi barat toko, masih melihat-lihat buku. Mungkinkah dia sengaja? Aku tidak tahu pasti, dan aku kebingungan harus melakukan apa. Ingin ke rak buku di seberang, namun situasi dengan Natalia saat itu masih lumayan canggung. Oh, tidak sampai Natalia kembali menoleh padaku, melambaikan tangan kanannya kepadaku seperti mengajakku datang ke sana. Mau tidak mau, aku datang saja. Kuturuti saja apa maunya, kuhampiri Natalia dan kutatap buku yang ia pegang. 'Amelia', judul yang tertulis di sampul depan, ditemani oleh seorang gadis kecil berkaus merah jambu yang berusaha meraih buah-buah merah ranum di atas pohon rindang. Di atas, di mana dedaunan tampak menghalangi langit biru berhias sedikit awan putih, tertulis sebuah nama: 'Tere Liye'. Aku mendapatkan sebuah hipotesis, yaitu penulis favorit Natalia adalah Tere Liye. Tentunya hipotesis takkan terbukti apabila tidak dilakukan percobaan. Oleh sebab itu, aku bertanya kepada Natalia, "Seneng bukunya Tere-Liye, ya?" What a way to start a conversation, seperti yang banyak orang bilang. Ternyata, percakapan berjalan lancar. Natalia tampak tertarik untuk mengobrol denganku. "Iya, Dam. Dia penulis favorit aku," jawab Natalia seiring senyuman mulai terbentuk oleh bibirnya. "Kamu tau, nggak? Ibu aku yang bikin aku mulai baca buku-buku Tere-Liye, dan sampe sekarang aku seneng. Ini keluaran terbaru dari Serial Anak-Anak Mamak, yang tiga buku sebelumnya udah aku baca semua." Penjelasan yang panjangnya bukan kepalang ibarat ular naga itu kudengarkan dengan seksama. Aku hendak berkata, tapi aku hanya mampu melafalkan "Oh..." sebelum Natalia melanjutkan penjelasannya. "Ibu aku mulai baca dari jaman 'Kisah Sang Penandai'. Terus, aku liat beliau baca 'Burlian', buku pertama dari serialnya 'Amelia' ini. Aku jadi ikut-ikutan, tapi selama ini aku baru tertarik sama Serial Anak-Anak Mamak doang. Belum tau kalo yang lainnya." Apakah kisah itu sudah usai? Jawabannya adalah sudah, diikuti kalimat berakhir tanda tanya.
"Omong-omong, kamu sukanya buku apa?"
Sulit. Buku kesukaanku, jika kukatakan, mungkin akan terdengar memalukan. Namun, bagiku tak masalah jika dia akan menertawakan, toh aku juga jarang melihatnya tertawa lebar ketika ada suatu hal yang amat menggelitik. Mungkin tembok keseriusannya akan luluh. "Komik," jawabku setelah beberapa detik penuh keheningan, "gua seneng baca komik." Lancar saja kedua kata itu kukatakan, tanpa ragu. Tak tahunya, reaksi darinya berbeda dari apa yang kubayangkan. Ia hanya tersenyum lembut sebagaimana belakangan ini ia tersenyum, nada bicaranya terdengar biasa pula.
"Oh, komik. Kamu suka banget, ya, sama komik?" Retoris.
"Hu-uh," balasku sambil menganggukkan kepala.
Selepas jawabanku, Natalia memperhatikan diriku dengan lekat. Lagi-lagi ia bertanya, "Kamu bacanya emang komik terus? Gak ada bacaan lain?"
"Ada, sih. Buku pelajaran," jawabku secara spontan, mengambil apa yang muncul pertama kali di otakku. Ya, bukankah membaca buku pelajaran adalah hal yang sudah pasti bagi pelajar?
"Selain itu..." balas Natalia.
"Gak ada. Kalo gak buku pelajaran, ya komik."
Seperti apa yang kulakukan sebelumnya, Natalia mengangguk pelan. Kembalilah ia menatap ke arahku dan ia bertanya lagi, "Novel gak suka, ya?" Aku lantas menggeleng, dan kujawab pertanyaan itu dengan terus terang. "Gak terlalu. Menurut gue novel bahasanya ruwet-ruwet." Sedikit ironi, tanpa kuketahui kisah hidup ini akan dituang bagai novel. Untuk yang kedua kalinya, Natalia menganggukkan kepala. Sepertinya ia mengerti akan alasan mengapa aku kurang suka membaca novel. Mungkin juga dia mengaitkannya dengan kepribadianku, yang pada saat makan malam itu kuberitahukan bahwa aku orangnya nyantai dan tidak sering ambil ribet. "Pantes," katanya, seiring bibirnya membentuk senyum tipis, "kamu kan orangnya gak suka yang rumit-rumit, ya." Sudah kuduga.
"Oh iya," tambah Natalia, "yang tadi bareng kamu itu, temen sekolah kamu, ya?" Oh, rupanya dia bertanya tentang Ahmad. Dia yang kulihat baru selesai membayar, dan menghampiriku. "Iya," balasku singkat, sebelum Ahmad sontak menyahut. "Dam, belom nyari komik, lu? Tangan lu kosong, tuh." Saking asyiknya mengobrol bersama Natalia, aku sampai lupa akan tujuan sebenarnya aku ikut Ahmad ke toko buku. "Eh, iya yaー" ucapku. "Nat, gua mau nyari komik dulu. Hampir lupa gua..." Sejenak aku tertawa, ia pun ikut tertawa. "Ahahaha, ya udah. BTW, kamu yang di sana, salam kenal, ya." Natalia berujar kepada Ahmad. "Oh, salken juga, Kak. Aku Ahmad," balas Ahmad. Kami berdua mulai beranjak dari rak novel setelahnya. Kala aku mulai berjalan, aku berkata kepada Natalia, "Udah dulu ya, Nat." Tak lupa kutunjukkan senyum lembut kepadanya. Sekilas kulihat Natalia tersenyum sembari melambaikan telapak tangannya kepadaku, sebelum aku berpindah ke rak komik dan mengambil buku yang ingin kubeli, kemudian membayarnya dan segera pulang, sebab arloji sudah menunjukkan pukul lima sore. Pertemuan itu ternyata tidak seburuk yang aku kira. Ternyata pertemuan itu membuatku merasa sedikit lebih dekat dengan Natalia.
YOU ARE READING
Atas
Teen FictionWaktu itu, awal tahun 2014, Adam Syahputra yang masih kelas 8 SMP, enggan bersentuhan dengan dunia romansa. Ia terlalu diasyikkan oleh kawan-kawannya, membawa pikiran bahwa pacaran itu merepotkan. Entah bagaimana, pikiran tersebut perlahan-lahan ber...