08. Ujian Akhir.

3 0 0
                                    

Walaupun bayangan sosoknya terus menghantui pikiranku, bahkan hingga ke ruang kelas pun, sehari saja bayangan itu langsung pudar. Mengapa gerangan? Ujian akhir akan dilaksanakan seminggu lagi. Tentu saja aku harus memfokuskan jiwa dan pikiranku kepada materi-materi tiap mata pelajaran, bukan malah memikirkan hal main-main apalagi ngebucin. Aku harus menggapai nilai baik agar aku dapat naik ke tingkat berikutnya.

Tiap pulang sekolah, aku dan Ahmad bersama kawan-kawan lainnya, jikalau makan di kantin atau di warung-warung yang biasa kami kunjungi, pada periode itu kami selalu membawa buku paket untuk belajar dan membahas materi bersama-sama. Akan tetapi, sepulangnya aku langsung tertidur pulas tanpa niat agar esok paginya aku bangun dengan segar. Langsung belajar lagi dengan pikiran segar sehingga materi dapat terikat dengan baik. Rutinitas yang tak biasanya kulakukan di hari-hari sebelumnya, keseharianku yang dipenuhi dengan ke-mager-an, selalu berulang kali kulakukan menjelang ujian. Supaya apa? Tentu saja supaya aku mendapat nilai yang baik.

"Gimana, Dam? Besok siap?"

Panggilan telepon dari Ahmad menginterupsi kegiatanku mengerjakan latihan soal matematika. "Ah, santai, lah. Siap gua," jawabku sebelum aku lantas memutuskan panggilan dan kembali menggoreskan bolpoin pada lembar halaman buku tulis. 25 butir soal, setelahnya aku terlelap di atas ranjang.

Esok paginya, aku datang ke sekolah terlalu awal ... lagi. Semua pintu ruang kelas terkunci, tersegel sebelum bel berdering. Aku duduk sendirian di pinggir koridor, di dekat pintu ruang ujianku. Ruangan yang tertera di kartu ujianku, pula yang menampilkan namaku di daftar yang tertempel pada pintunya. Sendirian, lebih baik belajar dulu. Kuambil buku PPKn dari dalam tas, kemudian kubaca dan kuhafalkan bagian-bagian penting terutama kata kuncinya.

"Sendirian aja, Dam. Niat banget."

Suara seorang gadis menyapaku. Pandanganku beralih dari deretan kata di dalam buku paket menuju Chintya, temanku yang pernah sekelas ketika aku duduk di bangku kelas 7 SMP. Tahun itu, kelas kami bersebelahan, begitu pula ruang ujian kami. "Kagak niat ini, Chin. Gua dateng kepagian," jawabku. Ia membalasnya dengan tawa pelan. "Hehe. Lanjutin, lah, belajarnya." Satu demi satu, siswa-siswi lainnya berdatangan. "Pagi, Chintya," sapa Rangga, teman sekelas Chintya yang kebetulan juga kukenal dikarenakan betapa busuknya perangainya. "Eh, ada si Adam juga," katanya seraya tiba-tiba memanggilku dengan cengiran serigalanya, menepuk pundakku lumayan kencang; sok kenal, sok dekat. "Pagi, Dam! Sehat lu hari ini?" lanjutnya. "Sehat, alhamdulillah," balasku. "Mantaaaap. Tos dulu, dong," ia mengacungkan telapak tangan kanannya, dilanjut denganku. Tanganku ditepuknya dan sesaat kemudian ia langsung berpindah ke sisi Chintya, dan tak lama kemudian mereka sudah tampak mesra berdua.

  Embus napas panjangku disadari oleh Ahmad yang baru datang. "Yah, sabar aja kalo sama dia, deh," ujarnya ketika ia duduk di sampingku. Aku seperti merasakan ketidaksukaan di dalam sorot matanya. Kepada siapa? Kepada Rangga. Ia menatap Rangga yang sedang mendekati Chintya. Oh, iya. Kan pernah ada suatu isu antara Rangga dan Chintya, dan Ahmad kena dampaknya. Sudah, sudah. Bukan waktunya untuk mengghibahkan yang sudah-sudah. "Woles aja lah..." timpalku, mencoba kembali fokus kepada buku paket. Ingat, saat itu adalah masa ujian akhir. Aku harus fokus.

  Bel berdering. Aku masuk ke dalam ruang ujian bersama siswa-siswi lainnya. Peraturan dibacakan di depan kelas. Lembar soal serta jawaban dibagikan. Aku membaca butir demi butir soal dengan teliti. Sulit? Sama sekali tidak. Walaupun kurasa pola belajarku kurang efektif akibat berbagai macam interferensi seperti kejadian Rangga sebelumnya, aku mampu menghitamkan lembar jawaban komputer dengan begitu lancarnya.

Waktu istirahat tiba dan UAS mata pelajaran PPKn usai. Setelah istirahat akan diadakan ujian matematika, makanya teman-teman sekelasku kebanyakan terlihat panik. Sepertinya aku termasuk salah satu spesies yang berbeda; aku berlatih soal-soal matematika lagi dengan tenang. Ahmad saja, yang sedang latihan bersamaku di kantin, tampak kaget mendapati perilaku santaiku. "Wih, sans banget lu, Dam," ujarnya. Aku mengangguk sembari masih mengerjakan soal latihan tanpa banyak pikir. "Ya sans ae, lah. Kalo matematika dipikir pusing, dibawa panik, ntar bakal susah belajarnya," tanggapku sambil melahap cemilan yang aku beli di kantin untuk teman belajar.

"Adam, Ahmad, kalian masih belajar? Udah mau bel, lho," sahut seorang gadis yang suaranya kukenal. Saat aku menoleh ke arah suara itu, ternyata Chintya yang mendekati meja kami dan menyapa kami. "Lho, cepet banget istirahatnya," komentarku sambil mulai membereskan buku, kertas coretan, dan alat tulis. Begitu kulihat ke arah Ahmad, ia tampak cukup lesu dalam seketika. Ia tidak menatap Chintya pula, hanya fokus kepada barang-barang yang sedang ia rapikan. Begitu beres, ia langsung menyangklong ranselnya dan mengajakku, "Udah selesai kok belajarnya. Yuk, Dam, balik ke kelas." Intonasinya terdengar monoton, tidak seperti bagaimana ia mengomentari santainya aku saat latihan tadi. Aku tidak tahu harus berkata apa kepada Ahmad, tapi yang kukatakan kepada Chintya selagi mengikuti Ahmad adalah, "Iya, ini mau balik ke kelas. Gua duluan ya." Aku lihat senyum tipis Chintya ketika ia tunjukkan telapak tangan kanannya. Ya, semenjak insiden yang sudah kusebutkan sebelumnya, Ahmad dan Chintya menjadi canggung. Ini satu hal lagi yang tidak semestinya aku pikirkan ketika ujian, maka aku kesampingkan saja hal itu ketika bersiap-siap dan mengerjakan soal matematika yang ternyata tidak terlalu sulit.

Terus saja berulang selama lima hari. Datang ke sekolah, mengerjakan soal-soal, pulang, belajar. Di akhir pekan KBM, seusai pelajaran paling akhir di UAS, semua siswa berkerumun melihat mading. Mereka berbondong-bondong melihat hasil ujian yang begitu cepatnya dipublikasikan. Terima kasih kepada teknologi LJK. Aku dan Ahmad melihat nilai kami bersama-sama. Cukup puas kulihat nilai-nilaiku, pula Ahmad. "Masa' nilai segitu tingginya lu puas doang, sih!? Kagak 'yes!' atau apa, gitu?" tanya Ahmad heran kepadaku meski hal ini adalah kebiasaan. "Ah, biasa itu sih Mad," jawabku.

Pulanglah aku ke rumah disambut sapa bangga dari seluruh anggota keluargaku yang sangat antusias. Biasa saja, karena semenjak kelas 7, aku mulai sering merasakan hal ini. Namun, sambutan bangga dari keluarga selepas ujian tak pernah terasa tidakmenyenangkan. Bahagia rasanya hatiku ketika sudah membuat keluargaku bangga.

AtasWhere stories live. Discover now