Chapter 1 | Berharap

50 1 0
                                    

Happy reading 😘😘
Jangan lupa tinggalkan jejak 😁

___________

"Aku pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia"

Ali bin Abi Thalib
______________

Seorang pemuda berdiri tepat dihadapan kaca. Menyisir rambutnya dan memberi sedikit minyak rambut. Setelan baju kokoh putih dan sarung hitam melekat apik ditubuhnya. Pemuda itu memakai peci yang senada dengan bajunya. Terdapat beberapa ukiran Arab yang menghiasi peci putih itu.

Gaishan Raffasya Hafis. Pemuda sekaligus santri yang digilai hampir seluruh ponpes putri. Perawakan tinggi, berkulit Langsat khas orang Indonesia semestinya serta mata yang meneduhkan menjadi perpaduan yang enak dipandang, membuat siapapun akan jatuh sejatuhnya pada pesona pemuda itu.

Dengan langkanya yang gontai Hafis menyusuri setiap sudut kamar di pondok putra itu. Membangunkan santri putra lain yang masih betah di dunia mimpi mereka. Jabatan sebagai pengurus pondok membuatnya memiliki tanggung-jawab lebih dari santri lain.

"Rak, bangun udah mau shubuh!!" ucap Hafis di ambang pintu kamar. Suaranya sedikit keras membuat yang dipanggil langsung terjaga.

Raksa Atmajaya santri sekaligus teman Hafis. Pemuda yang akrab dipanggil Raksa itu hanya mengendikan bahu. Kembali menyambung mimpinya. Hingga..

Blurrrr.....

Yah benar sekali. Setimba air mengucur deras membasahi area tidurnya. Pemuda itu mengibaskan sarungnya yang basah. menatap tajam ke arah Hafis.

"Apa?, mau marah. Hah!!" Sergah Hafis. Balas menatap tak kalah tajam.

Raksa hanya menggertakkan gigi dan berlalu pergi. Percuma saja berdebat ujung-ujungnya pasti dia yang salah. Ah memang dari awal dia yang salah!.

Hafis tersenyum penuh kemenangan. Pemuda itu meletakkan timba di sembarang arah. Melihat jam hitam yang melingkar ditangannya. "pukul 04.00"

"Sudah waktunya adzan" pemuda itu segera menuruni tangga karena memang kamar pengurus terletak dilantai dua.

Tepat anak tangga terakhir. Suara bel berdering memenuhi seantero pondok putra dan putri. Suasana yang tadi senyap kini mulai ramai. Dengan cepat Hafis menuju langgar, menyalakan mix. Ia mengucapkan basmalah dan langsung mengumandangkan adzan shubuh seperti biasanya.

***

Detik kemudian suara bel berganti mode menjadi suara adzan. Seorang gadis yang mulanya membaca mushaf kecil berwarna biru langit itu berhenti, memejamkan matanya. Menikmati setiap alunan adzan yang menggema memenuhi telinganya.

Gadis itu tersenyum. Bergumam lirih "Wahai Allah, Aku selalu merindukan Suaranya. Suara yang selalu mengingatkanku pada-Mu. Suara yang selalu berhasil menggetarkan hatiku setiap kali mendengarnya, merobohkan pertahananku atas ketidakpercayaanku terhadap apa itu cinta. Bolehkah aku berharap untuk kesekian kalinya agar engkau menjodohkanku dengannya?"

"Cie.. cie" bisik seorang gadis tepat di telinga gadis yang ia panggil Luna itu.

Aluna Zahra Maulita. Gadis berumur 17 tahun itu sontak membuka mata hazelnya, mendorong pelan orang yang membisikkannya semenit yang lalu.

"Mbak Aya nguping do'aku ya!"

Anindya Ayana Shahab. Gadis berumur satu tahun lebih tua dari Luna itu. Mengerlingkan matanya."Jangankan do'amu. Mbak juga tau nama siapa yang kamu sebutkan di setiap do'amu Luna."

Seketika wajah Luna berubah menjadi merah seperti kepiting rebus. Ah malu.

"Mau mbak bantu untuk mendapatkan si Hafis itu?" Goda Ayana. Senang rasanya  melihat wajah Aluna yang tambah memerah menahan malu.

"Udah ah, mbak Aya aku mau ke kamar dulu" ucap Aluna akhirnya, gadis itu menyerah, wajahnya sekarang sudah benar-benar merah padam. "Ih mbk Aya jail banget sih" gumamnya, ia melangkah pergi meninggalkan area surau putri diikuti Ayana yang terus menyorakinya, sedangkan santri lain yang sejak tadi memang berada di sana saling bertatapan memandang keduanya bingung.

-Aluna-

Terimakasih sudah membaca cerita ini:)

rifatussh_

The Secret Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang