Seberapa Cerdas?

59 9 4
                                    

Sore ini, saat kebanyakan orang jalan bersama pasangannya, aku memutuskan untuk mengencani secangkir kopi sembari berbagi kasih dengan sebuah buku bersampul biru. Duduk sendirian di kafe sederhana seperti ini sudah membuatku nyaman. Sejenak melupakan ingar-bingar dunia luar yang belum tentu bisa diterima nalar.

Di meja lain, tepat di seberangku, duduk empat mahasiswa. Mereka membuat kafe kecil ini ramai dengan tawa dan ucapan-ucapan nyaring. Entah apa niatnya, tapi cukup menggangu kenyamanan yang lain.

Aku berusaha fokus membaca. Sialnya, kegaduhan mereka menyibukkan telinga dan memperdaya mata. Bagaimana tidak, rasanya seperti terjebak dalam lorong panjang nan sempit dipenuhi dengan dengungan seribu lalat mengelilingi kepala.

Akhirnya, aku tenggelam dalam obrolan mereka. Menyimak tidak sopan.

"Jangan. Saranku, esok atau lusa saja. Ini hari Jumat tanggal tiga belas. Sama sekali tidak baik." Pemuda bertubuh gempal memberi saran kepada teman di sampingnya, sembunyi-sembunyi tapi tetap terdengar olehku.

"Memangnya kenapa? Jangan aneh-aneh!" sergah temannya bermuka masam.

"Kau tidak tahu? Ada berbagai teori yang berusaha menjelaskan jika hari Jumat tanggal tiga belas dianggap sebagai hari penuh bencana."

"Jangan bercanda!" Suaranya meninggi.

Menarik. Entah apa yang dimaksud, tetapi yang disampaikannya barusan menggelitik ingatanku. Kalau tidak salah, salah satu teorinya adalah: dalam sistem duodesimal, angka 13 merupakan angka yang tidak bisa dibagi. Juga, ada beberapa contoh tragedi lama yang menyatakan, bahwa hari Jumat tanggal 13 Oktober 1307, Raja Philip keempat menangkap semua ksatria Templar yang ada di seluruh Prancis dan mengeksekusi mereka dengan alasan tidak jelas. Contoh yang lebih tua lagi, konon, tewasnya Julius Caesar karena pengkhianatan Brutus juga terjadi pada hari Jumat tanggal 13.

Namun sebenarnya, kebetulan ini, hari ketiga belas yang jatuh pada hari Jumat merupakan kombinasi yang bisa dijumpai 2 kali dalam 1 bulan. Sehingga untuk apa khawatir? Kerjakanlah apa pun yang direncanakan.

Perbincangan mereka tidak berhenti. Antusias membahas apa saja. Bedanya, tidak ada lagi yang saling berbisik. Berempat silih membalas candaan. Rupanya mataku cukup jeli, dengan jelas kulihat tatapan salah seorang dari mereka berbeda. Apa itu? Mengawasi? Oh bukan, itu pandangan seseorang ketika jatuh cinta.

Jadi begitu. Dia pasti ingin mengutarakan perasaannya itu. Mungkin hari ini, di sini. Tengoklah, gadis di depannya begitu anggun. Senyumnya manis tak terbendung. Apalagi sorot matanya, begitu meneduhkan. Astaga, aku bisa ikut suka memerhatikannya lama-lama.

"Sudah, berhenti menggodaku. Tidak enak dilihat yang lain." Si gadis risih, menepis lengan pemuda di sebelahnya. Ah, agaknya akan ada persaingan di antara mereka.

"Tenang saja, mereka juga tidak masalah, kan?" dalih si penggoda bermuka jenaka. Memang, pemuda gempal tadi tertawa melihat perbuatannya. Namun, sikap si pemuda yang jatuh cinta itu menunjukkan ketidaksukaan. Ia seketika berdiri, melangkah masuk ke dalam toilet.

Hal itu membuat si penggoda menjadi-jadi dalam beraksi. Pemandangan berubah tidak menyenangkan. Maka, daripada semakin tidak sopan menyimak mereka, kuputuskan untuk kembali membaca saja. Kasihan buku bersampul biru ini dibiarkan membisu.

Ketika tak sengaja kembali kulirik mereka, pemuda gempal mengeluarkan laptop dari tasnya. Kebetulan, benda itu tidak menyala setelah beberapa kali dihidupkan. Alhasil, mereka pun mengisi dayanya. Berbarengan dengan itu, seseorang datang dari pintu masuk dan menghampiri mereka. Lalu tiba-tiba dengan cepat ....

'Ctriiik .... Patsss!'

"Eh? Mati lampu!"

"Tadi ... aku melihat percikan api!"

Jejak Merah yang Hilang (Cerpen) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang