Hari itu...

12 2 4
                                    

Aku masih inget, Bi, hari itu, 14 Juli 2017, hari dimana akhirnya kamu bisa terbebas dari rasa sakit.

Hari itu, hari ketiga setelah aku menerima pengakuan cinta kamu.

Hari dimana aku, untuk pertama kalinya, benar-benar membenci kamu.

Aku lupa tepatnya pukul berapa, tapi yang pasti aku baru saja selesai salat maghrib saat aku menerima telpon itu. Nama yang tertera jelas-jelas namamu, "Bi🐬" -ada emotikon lumba-lumbanya karena kamu sesuka itu sama tokoh 'dolphino' di dunia air, katamu suaranya lucu, apalagi saat tertawa-, tapi yang kudengar setelah mengangkat telpon bukan suaramu.

Itu suara perempuan.

"Assalamu'alaikum, L,"

Dan aku mengenali suara itu.

"Wa'alaikumussalam, Vanilla,"

Itu Vanilla, saudara kembarmu yang kamu sebut Cenil karena kesukaannya pada makanan lengket itu.

Ada jeda sebentar saat itu, hanya hening yang mengisi intervalnya. Dan aku bisa mendengar isak tangis dari ujung sana, entah siapa yang menangis.

"Van?" aku tidak tahan, saat itu perasaanku sudah teramat buruk.

Aku, entah mau atau tidak, sudah menebak apa yang mungkin terjadi.

"El, aku disini mau ngewakilin Biru," ada getar pada suara Nila, napasnya terhembus begitu beratnya, dan sebuah isak keluar dari mulutnya sebelum ia melanjutkan, "Tolong maafin Biru, ya? Maafin semua salah yang udah Biru lakuin ke kamu. Biru pamit, dia mau pulang,"

Dan isak itu semakin keras.

"Aku nggak tahu seperti apa posisi Biru di hidup kamu, tapi aku tahu, buat Biru, kamu sangat penting. Kamu yang bikin Biru mau berjuang ngelawan sakit sialannya itu. Kamu yang bikin Biru berhenti pura-pura kuat di depan kita. Kamu yang bikin Biru selalu tersenyum meski ia kesakitan di tengah proses kemo. Kamu bikin Biru belajar. Kamu sepenting itu,"

Aku masih terdiam. Aku tidak yakin bagaimana detak jantungku saat itu.

Tapi yang pasti, ada sakit dan sesak yang kurasa.

"Maaf ya, El, dulu aku sempat benci kamu. Aku pikir kamu ngrebut semua perhatian Biru dari aku. Sampai kemudian aku sadar, Biru sudah membagi prioritas hatinya dengan adil. Untuk Mama, untukku, dan untuk kamu. Biru belum pernah jatuh cinta, dan kamu... kamu yang bikin dia bisa ngerasain itu. El, selamat ya, you are the first and last love he ever had,"

Aku ingin menangis, tapi kenapa tidak ada air mata yang keluar?

"Sekarang Biru udah pulang ke tempat seharusnya dia berada. Aku mohon kamu ikhlasin dia, ya? Dia udah nggak kesakitan lagi sekarang,"

Aku mengangguk tanpa sadar.

"Sedihnya jangan terlalu berlarut-larut, nangisnya secukupnya aja, Biru bakal awasin kita, jangan bikin dia sedih karena lihat kita begini. Inget, El, Biru bakal tetap ada, di hati kita, dia tetap bersama kita, dimanapun, kapanpun,"

Nila sudah mulai tenang, meski masih sesenggukan karena tangis sebelumnya.

"Aku tutup ya, wassalamu'alaikum,"

Aku sampai lupa untuk membalas salamnya saat itu.

Pikiranku terlanjur kosong.

Saat itu aku sampai bingung bagaimana caranya agar aku bisa menangis demi menghilangkan sesak di dadaku.

Dan jika bukan karena Alysa dan Mala, mungkin saat itu aku akan terus tersiksa karena rasa sesaknya.

Kamu tahu nggak, Bi, berapa lama aku nangis saat itu?

Enggak kok, nggak lama, aku cuma nangis satu setengah jam. Aku nggak mau kamu sedih gara-gara aku.

Walaupun sampai sekarang aku masih sering nangis tiap inget kamu.

Tapi gapapa, kan?

Memories Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang