part dua

102 14 0
                                    

"Dan sudah ku putuskan. Pernikahan akan tetap terjadi di rumah ini," jeda , "dengan Tanu, putra bungsuku sebagai mempelai prianya."
___________________________________

Keputusan sepihak yang diambil Widuri membuat Dena sedikit dongkol. Bagaimana tidak? Seharusnya ia akan menikah dengan Garda, tapi kenapa digantikan oleh Tanu? Bahkan Dena baru sehari bertemu dengan pria kaku itu. Dena tahu betul, Widuri ingin sekali menjadikan dirinya menantu, tapi bukan begini caranya.

"Aku tahu kau pasti marah dengan keputusan Bundaku,"

Lamunan Dena terhenti saat suara berat menginterupsinya. Ia menoleh dan melihat Tanu tengah menatapnya datar.

"Tapi Dena, tolong pertimbangkan keinginan beliau.''

Dena tersenyum pahit mendengarnya. Dengan langkah lebar-lebar ia hampiri Tanu. Mendongak dan tersenyum getir saat sudah sampai di depan pria itu.

"Mengapa aku harus mempertimbangkannya? Aku tak ada sedikitpun perasaan padamu. Lalu untuk apa lagi?" jeda, ''dengar Tanu, pernikahan itu hal yang sakral. Tidak mudah melakukan hal tersebut. Terlebih bersama orang yang tak kau cintai sama sekali.''

Tanu terdiam. Tatapan matanya yang awalnya dingin dan datar, berangsur melembut. Sebenarnya Tanu juga tak ingin terikat dalam ikatan suci pernikahan. Tetapi, sebagai seorang anak, dia tak dapat melawan perintah orang tuanya.

"Aku tahu hal itu. Tapi sekali lagi, tolong pertimbangkan keinginan Bundaku."

"Aku tidak bisa. Tolong jangan paksa aku, Tanu!"

"Dena.."

Kedua tangan kekar Tanu menggenggam lembut bahu Dena.

"Jika yang jadi masalahmu adalah karena tak adanya rasa cinta di hati kita berdua. Jangan risau, menikah tanpa adanya cinta itu hal yang biasa.''

...

Pernikahan antara Tanu dan Dena tengah berlangsung. Meski Dena melakukannya dengan rasa terpaksa. Sepanjang acara tak ada senyum yang terbit di wajah manis gadis itu. Membuat Tanu harus berkali-kali membisikinya agar tersenyum dan bersikap seolah-olah tengah bahagia.

Tak jarang saat bersalaman dengan para tamu, telinga Dena menangkap obrolan para wanita yang menggunjingnya.

"Enak sekali ya dia, calon suaminya meninggal eh digantikan oleh adiknya."

"Iya benar. Kelihatan sekali kalau dia hanya mengincar harta warisan sang mertua. Maka dari itu tak dapat menikahi sang anak sulung, anak bungsu pun jadi. Hahahaha."

Tangan Dena terkepal erat. Ingin sekali ia menonjok muka para wanita penggosip yang berbicara tak benar tentang dirinya. Inilah alasan lain yang tak ia katakan pada Tanu dulu saat ia enggan menyetujui pernikahan ini.

...

Malam pertama, seharusnya jadi malam terindah dalam hidup sang pengantin baru. Namun, hal ini tak berlaku bagi Tanu. Karena Dena enggan tidur seranjang dengannya. Membuat pria berambut legam itu mau tak mau harus tidur di sofa dalam kamar.

"TANUU!" Saat Tanu ingin berlabuh ke alam mimpi, teriakan Dena dari kamar mandi membuatnya terkejut bukan main. Hingga membuat ia jatuh dari sofa dengan tidak elitnya.

Dengan menahan rasa sakit di punggung, ia berjalan mendekati kamar mandi.

"Hei, Dena kau kenapa?''

"Diam di situ, jangan mendekat! Tolong ambilkan baju piyamaku di koper. A-aku lupa membawanya tadi.''

Dengan raut malas Tanu membuka koper Dena dan mencari baju piyama gadis itu.

"Tidak ada baju piyama di dalam kopermu, Dena" teriak Tanu.

"Jangan mengada-ngada kau, Tanu!" balasnya.

"Untuk apa aku mengada-ngada. Yang ada di kopermu hanya lingerie," jeda , ''apa kau berniat menggodaku?"

Hening. Dena berpikir sejenak. Ia yakin betul sudah nemasukkan piyama dalam koper saat berkemas kemarin. Ada yang salah di sini. Apa seseorang berbuat iseng padanya? Pikir gadis itu.

"Apa warna koper itu?"

"Coklat.''

"Itu bukan koperku, pantas saja isinya berbeda," jeda  "hei Tanu kau masih di sana kan?" tanyanya. Karena sepersekian detik suara berat pemuda itu tak terdengar.

Tok tok tok

"Buka pintunya!"

Sontak Dena panik. Pikiran aneh mulai memenuhi otaknya. Salah satunya, apakah Tanu ingin mengajaknya mandi bersama?

"Kau mau apa?"

"Sudah buka saja, jangan berpikiran kotor."

Pintu ia buka sedikit, cepat-cepat ia sembunyi di balik pintu, detik berikutnya lengan kekar Tanu terulur memberinya bathrobe.

"Kau mau ambil atau tidak?"

Untuk beberapa saat Dena cengo. Ia tak percaya tindakan baik Tanu barusan.

''Tak mau, ya? Yasudah."

"Jangan!" jeda, "aku mau kok."

Secepat kilat ia sambar bathrobe itu dan hendak memakainya namun urung karena pintunya masih terbuka. Saat akan ditutup sesuatu mengganjalnya dari bawah. Mata Dena menelisik dan kemudian mendengus kesal ketika tahu kaki Tanu yang jadi sebabnya.

"Apa lagi? Bathrobenya sudah ku terima. Jadi, tolong singkirkan kakimu dari pintu."

"Kau lupa mengucapkan terima kasih padaku."

Helaan napas kasar terhembus dari mulut Dena. Pria ini pamrih rupanya.

"Baiklah, terima kasih, Tanu," jeda , "sudah kan? Pergi sana hush hush.''

Tanu pun pergi dan kembali merebahkan diri di sofa. Jujur, ia lelah sekali.

Tanpa sadar senyum tipis terpatri di bibir ranum Dena karena perhatian kecil Tanu beberapa saat lalu.

***

Hari berganti bulan dan bulan pun berganti tahun. Tak terasa setahun sudah usia pernikahan Tanu dan Dena yang dilandasi rasa keterpaksaan antara keduanya. Selama itu pula, mereka tak pernah melakukan kontak fisik kecuali tidak sengaja. Tapi setidaknya hubungan mereka ada peningkatan, jika di malam pertama mereka, Tanu harus tidur sofa, lain hal dengan beberapa waktu belakangan ini. Karena Dena sudah sudi tidur seranjang dengan Tanu, meski guling harus jadi pembatas di antara mereka.

Tanu juga tak sekaku seperti dulu. Ia sudah kerap menyunggingkan senyum lebar hingga lesung pipinya timbul. Dan satu hal lagi pria itu sekarang jadi banyak bicara.

"Dena, di mana dasiku? Kau tahu kan hari ini aku ada rapat. Apa kata orang jika seorang CEO sepertiku terlambat menghadiri rapat?"

"Iya sebentar, sedang aku carikan. Kau ini cerewet sekali.''

Dengusnya kesal. Inilah yang terjadi jika pemuda itu bangun kesiangan, karena malamnya begadang. Sudah sering Dena melarang pria itu begadang, tapi namanya Tanu susah sekali dikasih tahu.

"Ketemu, ini." tuturnya dan menyerahkan dasi hitam bergaris putih pada Tanu.

"Tolong pasangkan."

"Astaga, kau manja sekali. Pasang saja sendiri. Aku harus memasak, Tanu." tolaknya. Berusaha mengacuhkan keinginan sang suami dan berlalu. Namun, lengannya ditahan oleh Tanu, membuat ia mau tak mau menuruti keinginan sang suami.

Dengan lihai jemari Dena memasangkan dasi di kerah kemeja Tanu. Tak butuh waktu lama dasi telah terpasang dengan rapi.

"Sudah, sekarang pergilah.''

"Terima kasih, Dena," ucapnya lembut lalu mengecup lama kening sang istri. Membuat gadis itu membeku di tempat.

"Aku pergi dulu."

Dena tetap mematung, bahkan setelah punggung Tanu lenyap dari pandangan. Ada sesuatu yang bergetar di hatinya. Entah apa itu. Perlahan tubuhnya terduduk di ranjang selama beberapa saat.

"Apa yang terjadi padaku? Perasaan apa ini?"

To be continued

Pengikat Hati [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang