Hujan Pukul Lima Sore

221 27 18
                                    

Walaupun aku membawa payung, aku enggan untuk memakainya. Aku enggan untuk merasakan rintikan hujan mengenai punggungku karena payungku yang kecil, aku enggan merasakan beceknya jalan yang penuh lumpur dan genangan. Kampusku sudah sangat sepi, orang-orang lebih memilih pulang segera dan beristirahat didekat alat penghangat ruangan dengan segelas cokelat panas. Tapi, tidak denganku. Aku tak menyukai hujan. Hujan bagiku hanya bencana, mimpi buruk, dan kenangan yang tak mengenakkan hati.

Kenapa aku berkata begitu?

Masa kecilku penuh dengan kenangan buruk, dan itu semua selalu diiringi dengan hujan. Ibuku meninggal karena melahirkanku, aku lahir ketika hujan. Aku pernah ditinggal sendirian dan saat itu mati lampu, hanya hujan yang menemaniku, menjadi saksi bisu ketakutanku.

Dan yang paling parah, aku pernah diculik. Aku sangat ingat saat itu aku sedang menunggu Ayah menjemputku. Gerimis kecil menemani, lalu tiba-tiba ada mobil hitam berhenti di depanku. Seorang pria paruh baya dengan masker yang menutupi wajah menarikku paksa ke dalam mobil itu. Untung saja, aku kembali dengan selamat setelah dua hari yang menegangkan.

Jadi, bagaimana bisa aku merasa bahagia ketika rintik hujan mulai turun menyapa tanah? Bagaimana bisa aku tersenyum mendengar suara indah hujan yang jatuh mengenai tanah?

Aku membenci hujan dan selamanya akan begitu.

Hujan mulai reda, menyisakan gerimis yang tak seberapa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan mulai reda, menyisakan gerimis yang tak seberapa. Aku masih terdiam di tempatku berdiri, tak berniat menerobos anak-anak hujan itu. Suara langkah samar-samar terdengar di telinga. Kukira hanya aku manusia kurang kerjaan yang tak berani menyerobot gerimis. Nyatanya, ada seorang gadis yang senasib denganku.

Aku yakin suara langkah itu berasal dari orang yang baru saja datang dan berdiri disebelahku ini. Aku tak berniat untuk mengetahui wajahnya, diam kembali menghinggapi.  Gadis di sebelahku masih tetap pada posisinya padahal gerimis tinggal menyisakan ampas.

Apa ia juga membenci hujan dan kawan-kawannya sepertiku?

Aku mulai penasaran dengan wajahnya. Kudongakkan kepalaku yang semula menunduk. Dari ekor mata yang susah payah mengintip, aku bisa melihat gadis itu sedikit lebih pendek dariku. Tubuhnya yang sangat ramping itu nampak pas, tidak kekurusan atau kegemukan. Garis rahangnya pun tegas, dengan rambut cokelat tua yang sedikit acak-acakan.

Tunggu. Apa ia hantu?

“Permisi. Ada apa, ya?”

Lirikanku tertangkap basah olehnya. Raut bingung jelas terlihat dari manik sewarna almond itu. Aku tahu rasanya jika dipandang oleh orang asing, aku benar-benar tahu sebab aku sudah sangat sering merasakannya. Dan bagaimana bisa aku melakukan hal yang sama dengan yang gadis-gadis genit sering lakukan saat ada di sebelahku?

Dasar Park bodoh!

“Eh, tidak. Maaf, aku tak sengaja melirikmu tadi."

Aku meringis, menyembunyikan rasa maluku. Gadis ini tak terlalu memikirkan perbuatanku. Ia kembali memandang jalanan kampus yang dilewati satu dua orang. Entah mengapa, aku ingin memulai pembicaraan, tapi gengsiku yang terlalu tinggi membuatku terus diam.

Petrichor. [ Park Jimin ]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang