setelah teman temannya pulang, bintang langsung bergegas ke kamar kakak perempuannya.
"mba nja diapain sama ka langit?" suara dingin diiringi hembusan napas yang tak beratur membuat senja yang sedang membaca buku jadi gelagapan menutupi memarnya.
"ga diapa apain kok, emang kenapa bintang?" senja duduk dengan tegap sambil tersenyum pada bintang.
"sini, kamu duduk dulu. jangan emosi gitu mukanya, kan mba nja takut" bintang menghembuskan napasnya kasar setelah itu duduk ditempat yang senja tunjukan.
"ini apa mba?" ucap bintang pelan dengan sedikit ada penekanan emosi di awal. bintang menarik buku yang menutupi memar senja.
"ehm- ini—" senja berpikir "oh! waktu itu mba nja lagi mau pulang, eh sama mba tari ditarik lagi tangannya masuk ke sekolah. mungkin karna terlalu keras genggamnya jadi merah" ujar senja sambil tersenyum. bintang menelisik memar yang berada pada lengan senja.
"tapi mba nja-" senja mulai gugup "mba tari ga sekuat itu, cuma genggam lengan mba nja ga bakal buat memar disini" bintang sedikit menekan memar merah yang kebiru biruan milik senja.
"akh-!"
"tuhkan sakit, pasti belum dikompres" bintang cepat cepat keluar dari kamar senja dan mengambil handuk yang diisi oleh es batu.
"ishh, pelan pelan bintang" ringis senja saat bintang sedikit menekan memarnya dengan es batu.
"dari awal gian juga ga setuju bang tara sama mba tian, tapi mau gimana cinta kan buta." senja menatap bintang yang berada di depannya dengan raut wajah khawatir bercampur emosi. seramnya lagi, jika bintang sudah memanggil orang dengan nama tengahnya —gian, tian, tara. berarti bintang marah, sangat.
"mba nja gapapa kok, cuma memar. udah ya bintang ke kamar dulu aja, tadi kata aldhi kamu ada ulangan matematika" bintang menepuk kepalanya singkat.
"yaudah, bintang ke kamar dulu."
-‚
