1

25K 1.3K 72
                                    

Tap your star! 🌟




Jakarta siang itu terasa terik, bahkan dua kipas angin yang menderu di dua sudut kelas tidak lagi terasa sejuk. Tugas matematika yang tergeletak begitu saja di atas meja terlihat nelangsa, lagi pula siapa suruh memberikan tugas faktorial ditengah-tengah cuaca panas kepada anak kelas 11 yang tengah sibuk-sibuknya dengan kehidupan remaja.

Seperti tiga sekawan ini misalnya. Dari pada mengerjakan soal angka yang berjejer di atas kertas kotak-kotak itu, ketiganya malah berkumpul di satu meja sambil memainkan kartu remi yang sudah lecek akibat terlalu sering di mainkan. Cowok yang ukuran tubuhnya paling kecil dengan paras yang manis itu berdecak karena di antara ketiga, ia yang paling memegang banyak kartu. Cowok itu melirik sahabatnya yang lain, kemudian menatap dengan curiga seraya mendorong jemari lain yang juga tengah memegang kartu.

"Arya! Lo curang ya?! Gue liat ya lo tadi diam-diem ambil joker yang udah dikeluarin!"

"Hah?! Kapan? Jangan nuduh sembarangan!"

"Lo bohong tetek lo putingnya Lang ya!"

"Bangsat! Sembarangan! Javnan kali, dari tadi diam aja!"

"LO YA!" begitu tuduhan itu beralih, cowok yang tertuduh itu mengangkat kepalanya pelan kemudian mengerjap beberapa kali.

"Enggak," jawabnya enteng.

Kegaduhan terjadi lagi karena cowok manis yang biasa Arya dan Javnan panggil Juna itu terus mengomel dan mencak-mencak perihal satu joker yang belum keluar. Javnan tidak kesal sama sekali sehabis di tuding begitu, cowok cerewet itu setiap hari memang begini, tiba-tiba marah-marah tidak jelas padahal ujung-ujungnya dia sendiri awal perkara.

Permainan berlangsung lancar dengan diiringi suara Juna yang nyaring sampai akhirnya setelah permainan usai, Arya menghela napas seraya menatap Juna dengan tatapan kesal. Tatapan kesal Arya itu lebih ke datar—datar dan mengintimidasi, karena seperti yang sudah Javnan duga, joker yang di berisiki Juna sedari tadi itu dia yang pegang. Pada akhirnya, cowok itu Cuma membiarkan sahabat-sahabatnya emosi lalu lengah sebelum akhirnya ia mengambil langkah untung menang. Dasar cowok licik.

"Sialan, gue tau lo bakal begitu!"

"Gue hapal banget jujur," sahut Javnan.

"Heheheh."

Artajuna terkikik geli sebelum jemarinya mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. "Ngomong-ngomong, gue berencana boking tiket nonton--."

"Gak, gue gak bisa. Gue mau antar Ibu ke supermarket, belanja bulanan," ujar Arya buru-buru mendorong Juna dari ponselnya.

"Gue juga mau nemenin Bunda aja di rumah," sahut Javnan, ia menutup buku matematikanya, berhubung sudah selesai duluan jauh sebelum mereka memulai permainan kartu tadi.

Sambil mengambil buku matematika Javnan untuk di salin, Juna berdecak kecewa. "Yah, sayang dong. Gue gak ada temennya."

"Biasa juga ngajak Mami lo," ucap Arya.

"Mami ke Paris, Papi juga lagi dinas ke Aussie, ketemu klien katanya."

"Tante Wendy bukannya abis dari Berlin?" kali ini Javnan ikutan terkejut. Tidak pernah terbiasa dengan kekayaan sahabatnya yang satu itu.

"Iya, habis itu dia naksir baju deisgner sana."

Javnan dan Arya sontak menggeleng, tidak habis pikir dengan kebiasan hedon ibu sahabatnya.

"Gue ikut lo deh yaaaa," Juna meringkus, mendekat ke arah Arya kemudian menggandeng lengan temannya dengan wajah memohon.

"Terserah lo sih, lagian lumayanlah ada yang bantu-bantu gue angkat barang."

The Way I Live ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang