Aku tahu alammu cemerlang, dengan rembulan bunga rembulan dan bintang
Merdu dengan rayuan asmara, namun bagiku hanya rimba lara
Rambut coklat ikalnya mengayun mengikuti gerak kepalanya yang mengayun mengikuti melodi. Sinar lembut matahari sore menyelimuti tubuhnya, mengajaknya bersenandung mengikuti melodi yang mengalun redup di kejauhan. Ujung gaun warna mustardnya menari tertiup semilir angin sore.
Hei malam, mengapa merajuk
Biarkan, aku seorang diri
Kasihku hilang, jauh di awan
Aku hanya dengan kenangan
Kale menekan beberapa tuts keyboardnya, melantunkan beberapa melodi sendu dari bait akhir lagu itu. Kerumunan kecil pengunjung, donatur dan staf yang mengerumuni panggung dadakan itu memberi tepukan tangan kaku untuk meramaikan acara penggalangan dana rumah sakit jiwa sepuh di barat Jakarta ini. Sang ketua panitia menelan ludah dan menggigit bibirnya.
'Penampilan macam apa ini...' Pria itu mengusap wajahnya depresi. Ia paham, kalau dengan keterbatasan dana yang rumah sakit ini miliki, mereka tidak bisa menyewa grup band terkenal untuk membantu mereka menggalang dana. Tapi bukan band seperti ini yang ia harapkan, lebih tepatnya bukan jenis lagu yang ia harapkan. Butir keringat dingin mengalir di wajahnya setelah ia menangkap seorang pria paruh baya yang menguap sambil menepuk tangannya malas dari sudut matanya.
Kale tersenyum setelah jari-jarinya menekan not terakhir dari Tjumbuan Kasih Rimba Lara. Hatinya harap-harap cemas. Ini adalah gig pertamanya setelah band "Serenata" miliknya terbentuk. Debutnya sebagai seorang musisi. Meskipun ia belum menyanyikan karyanya sendiri, menyanyikan karya salah satu idolanya sudah membuatnya bangga. Namun senyumnya hanya bertahan beberapa detik, pudar saat kepala panitia itu menarik lengannya dan mengangkat tangannya memberi kode kepada anggota band Kale untuk menghentikan musiknya. Kale mengikuti langkah pria itu sebelum akhirnya terhenti saat pria itu membalikan badannya dan berkacak pinggang.
"Ya Allah, kalian ini band angkatan tahun berapa sih? Masa bawain lagu jenis begini?" Pria di pertengahan empat puluh itu mengusap wajahnya emosi."Itu tadi lagu jaman bapak saya!"
"Ya tapi 'kan katanya bebas pak mau nyanyi lagu apa aja. Dari awal kita juga gak di-briefing apa-apa."
"Udah-udah! Ganti lagunya sekarang. Nyanyi itu lagu yang terkenal itu, yang kayak gini..." Pria paruh baya itu bersenandung sebuah lagu dari band pendatang baru tahun ini yang tengah naik daun. Senandung yang lebih mirip lenguhan sapi tua. Matanya menutup menghayati tiap nada sumbang yang keluar dari mulutnya.
"Gak apa-apa pak, saya juga gak bisa nyanyi di tempat yang orang-orangnya gak bisa ngehargain musik, yang gak bisa ngehargain sejarah." Kale menghela napas dalam dan membalikkan badannya. 'Apa-apaan. Gak ada selera musik.'
"Anjir. Tadi kenapa, Le?" Bastian mengangkat kedua alisnya. Ia tahu pasti kabar buruk yang akan ia dengar, melihat wajah datar Kale.
"Panitianya gak suka kita nyanyiin lagu tadi. Dia minta kita ganti lagu."
"Oke. Terus?" Jantung Bastian berdegup kencang. 'Oh no, you didn't-...'
"Ya-..."
"Dammit, Le. Not in our first gig!"
"Bas, tapi 'kan itu alesan band ini terbentuk! Kita udah ngomongin ini dari lama!"
Bastian mengusap wajahnya frustasi. Pengunjung yang masih tersisa saling menatap satu sama lain. Kale mengambil mic-nya, "Bapak ibu, terima kasih untuk perhatiannya. Kami undur diri, sampai jumpa di lain hari." Kale mematikan mic-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara Rimba
FanfictionLara Rimba merupakan sebuah mini seri cerita bersambung yang terinspirasi dari film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Mini seri ini mengisahkan latar belakang kehidupan tokoh Kale (Ardhito Pramono) di masa lalu dengan segala likunya sebelum pertem...