Suatu pagi, sang mentari lebih dulu terbit. Membawa rasa hangat bak api unggun di malah hari, seulas senyum dan terpaan sabar disebarnya. Untuk bima sakti, dia hanya memberi secercah cahayanya. Namun, bagi kita, dia sudah memberi seluruh cahayanya. Lama kelamaan suasana semakin terik, di pertengahan hari Mentari terlihat sedu. Bahkan sang gumpalan kapas ikut serta menutupi kesedihan Mentari.
Berlangsung cukup lama, akhirnya salah satu awan berani mempertanyakan keadaan Mentari. "Hey, Mentari! Hari ini kau tampak berbeda, ada apa?"
Dengan hati berat Mentari pun menjawab, "aku kesepian... seharusnya hari ini aku bisa memberikan rasa hangat, tetapi karena rasa hampa ini kalian menutupi cahayaku."
Awan-awan itu saling melempar pandangan, ada yang memberi pandangan tak paham dan ada pun yang memberi tatapan intimidasi tanpa alasan. Awan yang berwarna putih bak salju, perlahan bergerak mendekati Mentari.
"Siapa yang berani mengusik perasaanmu? Berceritalah padaku, akan ku simpan cerita itu sebagai rahasia terbesarmu."
"Bisakah aku memercayaimu?"
"Asalkan kamu tahu. Aku tetap di langit ini, waktu mungkin berganti begitupun dengan warna. Namun, kami para awan tak pernah meninggalkan tempat ini," ia sengaja menjeda kalimatnya, "satu lagi! Lagi pula bukan kamu yang pertama!"
Sang Mentari hanya membuang wajah dari awan, entah dia merasa hari ini begitu buruk. Dalam satu sisi Mentari takut bahwa suasananya dapat membawa petaka pada manusia. Atau mungkin sekarang dia bisa mendengar kata terima kasih dari mereka karena mendukung perasaan mereka juga.
"Kalian sama-sama kesepian, kamu berdiri di sini sendiri untuk mereka. Sama halnya dengan ia yang berdiri di malam yang gulita dan senyap, melihat beribu mimpi yang menemani malam mereka."
Mentari mengernyit, dia paham maksud awan. Karena sekarang ia sedang membicarakan sang Rembulan, tetapi apa tujuannya membawa kisah Rembulan padanya? Bukannya Mentari tak ingin mendengar hanya saja dia merasa tak pantas.
"Tiba-tiba? Mengapa tiba-tiba? Apakah aku punya hak untuk mendengar kisah orang lain?" Lugas Mentari pada Awan.
"Apa maksudmu? Aku tidak tiba-tiba, itu fakta. Sapalah ia saat senja penuh, ya meskipun kalian masih ada jarak setidaknya berteriaklah sekencang mungkin. Ia bukan orang yang dingin dan sang pelelap, ia hangat dan perhatian."
Wajah Awan tampak meyakinkan, tetapi itu tidak terlalu bisa meyakinkan Mentari untuk meneriaki sesuatu yang asing. Ah- selama ini mereka selalu berpapasan, mengapa dia bisa mengacuhkannya?
"Bisakah aku mencobanya?" Tanya Mentari penuh ragu.
Awan pun seraya mengangguk dengan senyum simpulnya, "jika ia mengabaikannya jangan pernah mencoba lagi, cepat-cepat lupakan apa yang kamu lakukan."
"T-tapi k-kenapa?"
"Jangan tanya kenapa, aku memberi peringatan. Suatu hal besar yang menyakitkan selalu berawal dari hal kecil tak terduga."
.
."Eo? Mengapa awan memberi peringatan seperti itu?"
Seorang anak kecil berusia tujuh tahun, yang sedari tadi memberi sepenuh afeksinya pada dongeng sang bibinya pun terheran. Ya, meskipun ia adalah anak tunggal laki-laki tetapi tak disangka Eun sangat menyukai rentetan diksi dan alunan orang bercerita.
"Astaga, kau ini! Setidaknya dengarkan dulu sampai selesai!" Gadis pendongeng itupun merasa sedikit kesal kepada sang anak. Bukan berarti dia tidak menyukai keponakannya ini, hanya saja ponakannya ini terlalu sulit untuk diatur. Ia selalu mencela atau memotong kisahnya dari awal, ah ... sungguh menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Knight of Criminal
Misteri / ThrillerMisteri pembunuhan salah satu seorang anggota kepolisian yang membawa bukti-bukti tersembunyi. Yang mana akan menjadi kunci jawaban untuk menemukan pelaku.