first cup: cappuccino

303 20 18
                                    

Sejujurnya, Chuuya tidak menyukai kopi. Alasan mengapa ia sering berada di kafe belakangan ini adalah lelaki pelayan teman masa kecilnya. Sebutlah Dazai Osamu—walaupun Chuuya sebenarnya ingin sekali melupakan nama itu. Lelaki itu mungkin sudah tidak mengingatnya. Ia bahkan mengabaikan sapaan Chuuya kemarin.

Namun ada perasaan ingin untuk tetap berada di sana, memperhatikan berapa banyak hal yang berubah dalam dirinya. Mungkin ada satu hal yang tidak berubah. Dazai tanpa sadar melukai dirinya sendiri. Kali ini ia memasang plester luka di pipi. Kemarin Chuuya melihat dua plester melingkar di telunjuk juga jari tengah. Dazai masih sama mengkhawatirkannya seperti dulu.

Apa yang berubah dari lelaki itu sekarang adalah sifat cerianya. Semasa kecil Chuuya lebih sering melihat wajah tertekuk atau pandangan kosong. Sekarang sudah ada cahaya di mata cokelatnya. Tapi tetap saja, ia putus asa mengapa Dazai tidak mengenalinya.

Hari ini ia pergi ke sana lebih awal. Chuuya berpapasan dengan lelaki itu di depan kafe.

"Dazai," ia memanggil mencoba menyapa seperti hari lainnya.

"Ya?"

Lelaki itu menyahut, membuat Chuuya tertegun. Wajah itu tampak cerah, seakan tidak ada beban yang mengganggu.

"Hei, aku harus segera bekerja. Maaf," ujarnya cepat seraya masuk ke dalam kafe.

Chuuya tidak ingin menahan. Entah mengapa ia merasa Dazai akan mengabaikannya lagi. Namun karena terlanjur berada di tempat ini, sinoper itu tetap masuk dan duduk. Chuuya menyambangi meja bar di mana ia tidak akan melihat Dazai—yang lebih sering berkeliling di meja luar kafe.

"Pesananmu?" interupsi seorang barista.

"Apapun," Chuuya menyahut singkat. Sejujurnya ia tidak pernah memperhatikan apa yang ditulis dalam menu.

Barista itu mengangguk, menuju ke areanya untuk memproses biji kopinya. Chuuya memandang, sedikit tertarik dengan bagaimana si pria meratakan serbuk kopi dalam sebuah alat. Ia kemudian memasangnya pada mesin dan menaruh dua cangkir kecil di bawahnya.

"Aku selalu melihatmu kemari," ujar pria itu membuyarkan pikiran Chuuya lagi, "Tapi aku tidak menyangka kau tidak menyukai kopi."

Chuuya memalingkan wajahnya, menatap ke arah lain seraya berucap pelan. "Maaf."

"Tidak perlu meminta maaf," ujar pria itu seraya menuangkan susu ke dalam cangkir baru yang lebih besar. Tangannya bergerak dengan stabil selagi bicara pada Chuuya.

"Kau hanya perlu menikmatinya saja," ujarnya seraya menyodorkan secangkir kopi dengan gambar tulip.

"Apa ini?" tanya Chuuya seraya mendongak, menemukan pria itu berada tepat di hadapannya dengan membawa cangkir kecil.

"Cappuccino," ia menjawab singkat.

"Indah," gumam Chuuya sangat pelan. Walaupun sedikit tidak rela, ia meminum sedikit, mengecap rasa pahit espresso bercampur susu.

"Kau juga indah," ucap sang barista seraya mengusap foam putih di atas bibir Chuuya, "Walaupun ekspresimu muram."

Alasan utama Chuuya berada di sini adalah untuk memperhatikan Dazai, namun sikap pria ini malah membuatnya merona. Chuuya meraih cangkir tadi dan menenggak cappuccino yang tersisa. Ia mengusap bibirnya sendiri lalu beranjak dari kursi bar itu.

"Apakah kopi selalu terasa pahit?" gerutunya seraya mengalihkan topik.

Pria itu tersenyum seraya menatap Chuuya dengan sepasang iris violet. "Jadi kau lebih suka sesuatu yang manis?"

Chuuya tidak ingin membalas tatapan itu. Seakan ada sesuatu yang salah dalam dirinya jika merespons sikap pria itu.

"T-tentu saja," ucapnya tergagap seraya pergi ke arah meja kasir dan membayar pesanannya.

Chuuya keluar dari kafe itu tanpa mempedulikan apapun. Bahkan ia mengabaikan Dazai yang memandanginya dari meja pelanggan.

.

.

.

To be continued

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[√] affogato | morichuuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang