second cup: latte

180 20 8
                                    

"Kau datang lagi?" tanya sang barista ketika Chuuya mengambil tempat di kursi bar. Sebenarnya ia ingin melakukan hal yang sama―memperhatikan Dazai Osamu. Namun lelaki itu tidak tampak sejak ia menjejakkan kaki di kafe ini.

Sembari meracik kopi, si pria mencuri pandang pada pelanggan sinoper itu. Ia terlihat gelisah. "Apakah kau sedang menunggu seseorang?" celetuknya, mengungkapkan rasa penasaran.

Chuuya berdehem pelan, mengusir rasa gugup. "Sebenarnya aku mencari seseorang," ujarnya, "Dia bekerja di sini setiap siang. Jadi aku berpikir untuk mampir setelah kelasku berakhir."

Barista itu tersenyum sementara menuang susu hangat ke dalam cangkir. "Seperti apa orang yang kau cari itu?"

"Dia teman masa kecilku. Hanya saja tampak seperti orang lain." Tanpa berpikir panjang, Chuuya bercerita. "Aku takut salah orang. Namun semakin memperhatikannya, aku semakin yakin."

Pria itu menaruh secangkir latte di hadapan Chuuya dengan lukisan angsa berwarna putih.  Chuuya menatap kagum. Hampir saja terucap kata "cantik" dari bibirnya kalau saja ia tidak ingat apa yang terjadi setelah kata itu tempo hari.

"Apa ini sama seperti kemarin?" tanya Chuuya penasaran.

"Aku membuat sesuatu yang lebih manis agar kau menyukainya," ucap sang barista santai. Sinoper itu tidak habis pikir mengapa ia bisa mengucapkan perkataan seperti itu dengan mudah. Wajahnya terasa panas sekarang.

"Jika kau merasa yakin, cobalah bertanya." Perkataan itu membuat pikiran Chuuya buyar. Ia bahkan tidak sadar apa konteks kalimat barusan.

"Maksudku, teman masa kecilmu," tambah si pria seraya menatap sinoper itu hangat. Chuuya memperhatikan sepasang violet itu dalam diam. Bibirnya sedikit terbuka karena bingung.

"Kau bisa membuyarkan fokusku bila memasang ekspresi seperti itu," sang barista menaruh cangkirnya di atas meja.

Chuuya menunduk, mengalihan tatapannya pada secangkir latte di hadapannya. Ia tidak tahu mengapa setiap kalimat yang muncul dari bibir pria itu membuatnya salah tingkah. Ia datang mencari Dazai. Mengapa fokusnya beralih pada orang lain?

"Kau menarik," ucap pria itu.

Ketika Chuuya mendongak, wajah mereka bertemu. Jaraknya begitu dekat hingga kedua matanya mengerjap pelan.

"Temanmu sangat beruntung karena kau yang menunggunya," ucapnya lagi membuat tubuh Chuuya merasa hangat.

"Aku—,"

"Mori-san," interupsi sosok yang baru datang.

Sontak Chuuya menoleh menemukan lelaki bersurai brunette yang tampak terkejut. "D-Dazai..," sebut sinoper itu pelan.

Pria yang dipanggil Mori juga menoleh, namun tidak mengatakan apapun. Ia memperhatikan bagaimana ekspresi Dazai menjadi lebih dingin.

"Maaf mengganggu kalian," ujarnya singkat memecah keheningan seraya berlalu ke dalam ruang pegawai.

Chuuya sendiri termenung di tempat. Ia ingin sekali menyusul Dazai namun rasanya ini bukan waktu yang tepat. Latte-nya bahkan masih belum tersentuh.

"Apakah yang beruntung itu Dazai Osamu?" Chuuya tersentak dengan pertanyaan barusan. Kata "beruntung" itu sangat aneh untuk disandingkan. Namun alih-alih mengelak, ia mengangguk sebagai jawaban.

Mori tersenyum hangat selagi berkutat dengan mesin espresso-nya. "Setelah kau menghabiskan pesananmu, akan kuberitahukan sesuatu."

Kontras dengan ekspresi kecewanya, mata Chuuya terbuka penasaran. Perlahan ia menyesap kopi di cangkirnya, merasakan campuran espresso dan susu. Rasanya manis dengan aroma kopi yang khas.

"Apa kau menyukainya?" Mori bertanya murni penasaran.

"Lebih manis dibanding kemarin," sahut Chuuya pelan.

Mori terkekeh pelan lalu menaruh menu buatannya di atas nampan dan beralih pada sinoper itu lagi. "Shift-nya berakhir pukul 5 sore," ujarnya.

"Kau bisa datang tepat waktu dan mengajaknya bicara selepas shift," tambah Mori, "Jangan memasang wajah murammu itu di depanku lagi."

Pria itu berucap seraya mengusap bibir Chuuya. Ia tidak menduga akan mendapat perasaan aneh ini, sama seperti tempo hari, karena perlakuan yang sama pula. Wajahnya memerah malu. Ia beranjak dari kursinya tanpa mengatakan apapun.

Setelah membayar secangkir latte di kasir, Chuuya berjalan keluar. Ia sekali mencuri pandang ke belakang, menemukan pria barista itu sudah kembali bekerja sambil tersenyum.

Jantungnya berdegup kencang, membayangkan betapa dekat jarak mereka tadi. Namun ia perlu kembali besok. Ia perlu bicara dengan Dazai, teman masa kecil yang mungkin sudah melupakannya itu.

.

.

.

To be continued

a/n

sebenernya Pitik bingung sama Dazai :v

sebenernya dia kenapa? apa yang dia pikirkan? kenapa dia ngabaiin chuuya?

[√] affogato | morichuuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang