third cup: cold brew

154 15 7
                                    

Siang itu cukup terik untuk berjalan keluar kampus. Tapi Chuuya melakukannya, menyusuri jalan unuk kembali ke kamar sewanya. Ia melewati kafe tempat Dazai bekerja. Biasanya ia akan langsung masuk dan menunggu si brunette. Tapi kemarin Mori berkata untuk datang setelah shift lelaki itu berakhir, pukul 5 sore.

Benar. Tapi saat ini si sinoper malah menghentikan langkahnya di depan kafe. Ia memperhatikan tempat duduk luar dengan payung peneduh, juga mencuri pandang ke dalam, menerka apakah masih ada satu tempat duduk di meja bar untuknya.

Tungkai beralaskan sepatu kets itu melangkah masuk. Ia duduk di depan meja bar, menatap langsung ke arah sang barista. Tidak ada alasan bagi Mori untuk tidak terkejut. Namun ia tersenyum melihat ekspresi Chuuya tidak semuram kemarin.

"Pesananmu?" tanyanya.

"Apapun," sahut Chuuya seraya memalingkan tatapan.

"Aku terkejut kau datang lebih awal dari jam yang kuberitahu," ujar pria itu seraya menaruh es batu ke dalam gelas kaca.

"Menunggu hingga pukul 5 tidak terlalu lama bagiku," balas sinoper itu sambil memperhatikan bagaimana Mori menuang minuman berwarna cokelat tua dan susu ke sela-sela es batu tadi.

"Jadi kau berencana untuk membuyarkan fokusku lagi hari ini?"

Chuuya tertegun sejenak. Kata-kata Mori terucap seolah ia tidak seharusnya berada di sini. Namun violet-nya menatap teduh. Ia mengusap puncak sinoper itu seraya menaruh minuman Chuuya di hadapannya.

"A-aku tidak bermaksud..,"  Ucapannya tergantung ketika menyadari apa yang baru saja Mori lakukan padanya.

"Nikmatilah," ucap pria itu seraya berjalan kembali ke depan alat peracik espresso.

Chuuya menyesap minuman dingin itu, membiarkan rasa segar dan ringan menghilangkan gerahnya selama berjalan ke tempat ini.

"Apakah aku boleh berbicara denganmu?" tanya Chuuya ragu.

"Aku selalu ingin mendengarkan," sambut Mori seraya menoleh. Ia tampak tidak terbebani diajak bicara sambil memenuhi pesanan.

"Apa Dazai selalu tidak ingin diganggu ketika bekerja?"

Mori membalas pertanyaan itu dengan kekeh pelan. Ia mengambil kursi tinggi dan duduk di hadapan Chuuya.

"Tergantung bagaimana dia memandang dirimu," jawaban itu membuat Chuuya menaikkan alis. "Aku tidak merasa terganggu dengan keberadaanmu."

"Bukan. Maksudku—,"

Mori menunjuk ke belakang punggung Chuuya, memandang lelaki brunette yang tengah mengantar pesanan sambil tersenyum hangat.

"Seorang pelayan tidak mungkin terganggu dengan keberadaan pelanggan. Mereka adalah pekerjaannya," jelas pria itu seraya merapikan helai kemerahan yang jatuh ke wajah Chuuya.

"Ia pasti memiliki alasan khusus untukmu," tambah Mori.

Chuuya menoleh lagi, memperhatikan Dazai yang tengah mencatat pesanan. Lelaki itu kemudian mendekat, berjalan ke arahnya—lebih tepatnya Mori dan memberikan kertas pesanan. Tidak ada interaksi dengan Chuuya, seolah mereka tidak saling mengenal.

"Dazai," panggil Mori. Lelaki itu balas menyahut pelan. "Seseorang ingin bicara denganmu. Aku harap kau mau melayaninya."

Chuuya terdiam sejenak. Berpikir siapa yang dimaksud sang barista. Namun ketika kembali menatap Dazai, lelaki itu balas menunduk pelan, mengulurkan tangannya, dan menunggu Chuuya menyambutnya.

"Bolehkah kita bicara di tempat lain?" Nada bicaranya dingin.

Sedikit gugup, Chuuya menyambutnya, menurut ketika Dazai menarik tangannya menuju ruang pegawai.

"D-Dazai—,"

"Sekarang katakan," potong si brunette, "mengapa kau terlihat sangat mengenaliku?"

Chuuya terdiam sejenak, memproses pertanyaan tadi. Apakah itu artinya Dazai benar-benar tidak mengenalinya lagi?

"Aku tidak tahu mengapa kau selalu menatapku dengan sedih dan mengharapkan sesuatu." Dazai menghela napas sejenak, menahan emosi yang membuncah dalam benaknya. "Tapi aku tidak tahu apa yang kau harapkan."

"Apa kau tidak mengenaliku? Bukankah dulu kita berteman?"

"Bibiku pernah berkata aku mengalami kecelakaan dan melukai kepalaku. Aku melupakan beberapa hal karena hal itu."

Chuuya menelan ludah gugup.

"Mungkin kau salah satu dari beberapa hal itu."

Terjawab sudah ketakutannya selama ini. Dazai Osamu memang benar-benar tidak mengenalnya.

"Aku mencoba berpikir dan mencari saat di mana kita pernah bertemu. Tapi kepalaku terlalu sakit untuk mencobanya."

Perasaan kecewa muncul di dalam benak Chuuya.

"Maafkan aku."

Semakin lama semakin besar.

"Aku yang sekarang mungkin berbeda dari ingatanmu."

Setelah kalimat itu Chuuya membisu. Ia merasa sedih, merasa lebih sedih lagi karena mungkin sejak awal ia memang mencari Dazai bukan sebagai hanya teman lama. Sejak dulu perhatiannya selalu tertuju pada Dazai. Bahkan sekarang Chuuya sempat mengalihkan tatapannya pada plester di pergelangan tangan lelaki itu.

"Apakah kali ini tanganmu yang terluka?" ucapnya pelan.

Dazai melihat plester itu, bergumam pelan untuk mengiyakan pertanyaan Chuuya. "Kemarin aku melukai jariku dan beberapa hari yang sebelumnya aku melukai pipiku," cerita Dazai, "aku orang yang ceroboh."

Bibir Chuuya memaksakan senyum. Ia berkedip berulang kali, mencegah dirinya sediri terbawa perasaan karena mengingat masa lalu.

"Kau bilang kau berbeda dari apa yang kuingat." Chuuya mendongak, menatap sepasang manik kecokelatan yang berkilat bingung. "Tapi kau bahkan tidak berubah sedikitpun."

Anggap saja Chuuya cengeng, tapi ia ingin sekali menangis, menumpahkan rasa kecewa yang terpendam selama ini.

"Maafkan aku," ucap Dazai seraya mengusap surai Chuuya pelan, membawa lelaki yang lebih pendek itu ke dalam rengkuhannya.

"Maaf aku tidak bisa mengingatmu."

.

.

.

To be  continued

[√] affogato | morichuuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang