02 - Namanya JIBRAN CETTA HASTUNGKARA

53 14 10
                                    

Gauri mengelus kucing jantan yang baru dinamainya Raksi itu dengan sayang, masker yang menutupi sebagian mukanya tak lantas membuat ia berhenti mengoceh mengajak Raksi berbicara.

Hari menjelang sore ketika Papa pulang, Mama masih di kantor meneruskan pekerjaannya. Namun bukan Papa namanya kalau sudah pulang tidak langsung mengunci dirinya di dalam ruang kerja. Papa dan Mama memang sepakat, seberapa sibuknya mereka, ketika menjelang malam harus ada salah satu yang berada di rumah untuk menjaga Gauri. Walau sering kesal karena mereka terlalu mementingkan pekerjaan, tapi Gauri tahu mereka menginginkan yang terbaik untuk mempersiapkan masa depan anak semata wayangnya.

Ngomong-ngomong soal Raksi, nama itu adalah usulan dari sang Papa. Raksi sendiri memiliki arti berbau harum. Harapannya semoga kucing itu memberikan kebahagian di tengah keluarga mereka. Jam 7 malam nanti, ia akan memeriksakan dirinya kedokter bersama Papa sekalian menjemput Mama. Semenjak kedatangan Raksi di rumah ini bersinnya makin menjadi, ia harus berkonsultasi pada dokter.

Jam menunjukkan pukul setengah 6 ketika Papa berteriak memanggilnya untuk segera berangkat, menginggat jarak Rumah Sakit sekitar 25 menit dari rumahnya. Namun begitu keluar kamar, Raksi tengah menunggunya di depan pintu. Matanya seolah mengisyaratkan untuk tidak pergi.

Gauri berjongkok, mengelus anak kucing tersebut. "Raksi dengerin ya, kamu di sini aja jagain rumah. Aku nggak pergi lama kok." Kucing itu mengeong, sedikit menyingkir seolah memberi jalan untuk Gauri supaya lewat.

Senyum Gauri menggembang, "Ah anak pinter, nanti aku beliin wishkas."

•••

Gauri menunggu di depan lobi Rumah Sakit. Karena Mama yang minta di jemput lebih awal, maka Papa membatalkan janji temu jam 7 dan menggundurnya, alhasil dokter baru lenggang lagi sekitar pukul 9 nanti. Saat ini sudah jam 8.33, masih ada sekitar setengah jam lagi menunggu Dokter Arya. Tadi mereka memutuskan untuk menunggu sembari makan di Warung Padang dekat Rumah Sakit. Gauri makan terlalu banyak, jadi begitu sampai di lobi ia menolak saat Papanya mengajak untuk menunggu di dalam, kantuk yang menyerangnya membuat Gauri ingin mencari angin di luar.

Gauri duduk sendiri, Rumah Sakit sepi menginjak jam malam ketika tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang, ia telonjak kaget untungnya tidak sampai berteriak.

"Sorry, bikin kaget ya."

Gauri tidak menjawab, masih berusaha menetralkan detak jantungnya.

"Ini minum dulu." Laki-laki itu menuntun Gauri kembali duduk, "Kamu temennya Lele kemarin kan?"

Gauri mengangguk, berusaha menenggak botol beriskan air mineral itu hingga tandas. "Maaf, gue habisin." Ia mengulurkan kembali botol minum itu kepemiliknya.

"Gak papa. Gue yang minta maaf bikin lo kaget barusan."

Dia Icung, sobat karib Lele yang beberapa waktu lalu bertanya di mana keberadaan sahabatnya. Kalau dilihat lebih seksama, Icung terlihat lebih keren saat memakai baju bebas. Terlihat sangat rapi tanpa harus memasukkan kemejanya ke dalam celana.

"Oh iya kita sering banget ketemu tapi belom pernah kenalan secara resmi." Icung menguluran tangannya. "Gue Jibran Cetta Hastungkara, ya lo udah tau kan siapa nama panggilan gue."

Gauri menjabat tangannya. "Gauri. Dan hai, salam kenal," jawabnya ringan.

Icung sedikit mengernyit. "Kenapa lo gak sebutin nama lengkap?" tanyanya.

"Emangnya harus?"

Cowok tinggi jangkung itu mengangguk. "Kan gue kenalin diri juga pake lengkap."

Gauri terkekeh namun tetap menuruti keinginan teman barunya itu. "Gauri Nisdharya Mahveen."

"Oke jadi sekarang kalau ketemu bisa saling sapa kan?" Icung mengusap hidungnya yang terlihat memerah. Sepertinya ia sedang terserang flu.

Belum sempat menjawab, seorang perempuan kira-kira 5 tahun di atasnya datang kemudian menjewer telinga Icung. Icung mengaduh kesakitan, meminta di lepaskan karena malu di lihat teman sekolahnya.

"Ah, pacar kamu Cung?" Perempuan itu tiba-tiba duduk di antara keduanya setelah melepas telinga Icung. Menatap Gauri sembari berdecak kagum. Kemudian kembali menatap cowok itu dan memiting lehernya.

"Kakak apaan sih!!"

"Udah gede kamu ya, perasaan baru kemaren liatin kamu di gantiin popok sama Bunda," Perempuan yang di panggil Kakak itu mengulurkan tangannya. "Aku Jihan, Kakak sepupunya Icung, nama kamu siapa?"

"Gauri, Kak. Temannya Icung."

Kak Jihan mengangguk, kemudian menjitak kepala Icung yang sukses membuat sang empu mengadu kesakitan. "Kok nggak bilang kalau temen kamu. Kan Kakak jadi malu," omelnya lagi.

"Siapa suruh nggak nanya dulu."

Jihan ini anak dari kakak perempuan Bundanya. Ia menjadi mahasiswi semester akhir dan sedang menjalani skripsi. Kebetulan karena rumah Icung lebih dekat dengan kampus, maka Jihan memutuskan untuk mengungsi beberapa tahun belakangan di rumah sepupunya, hanya saat libur ia kembali ke rumah. Icung sebenarnya memiliki seorang kakak laki-laki kandung, bekerja sebagai penerus bisnis keluarga. Karena sibuk bekerja, Icung jadi lebih dekat dengan sepupunya dari pada kakaknya sendiri.

Mereka datang kemari untuk memeriksakan kesehatan Icung, kemudian saat berjalan kearah parkiran anak itu kebelet pipis dan masuk kembali ke dalam. Namun, malah sepupunya itu tak kunjung kembali. Karena tidak mau membiarkan Icung yang sedang flu berlama-lama menghirup angin malam, ia berpamitan terlebih dulu, walau sedikit meyeret paksa karena Icung tidak mau meninggalkan Gauri menunggu sendirian.

Keduanya menghilang di balik pilar-pilar gedung, tak lama setelahnya mobil mereka melesat pergi. Gauri di kejutkan dengan sekelebat bayangan yang kemudian juga terlihat menghilang dari balik pilar. Gauri mengernyit, mencoba memfokuskan pengelihatannya. Ia sudah berdiri dan berjalan ke arah parkiran. Namun nihil di sana hanya ada beberapa kendaraan, tidak ada tanda-tanda keberadaan makhluk hidup.

Saat ia berbalik, ada seorang gadis yang masuk ke dalam Rumah Sakit. Gadis itu. Iya, ia tidak salah lihat. Gadis aneh yang ditemuinya 2 minggu lalu saat berada di toilet sebuah cafe. Gauri memutuskan untuk berlari mengejar, saat ia masuk lobi, gadis itu telah sampai di ujung lorong dan siap berbelok. Mengabaikan hidungnya yang sedari tadi tidak bisa bernapas dengan baik, ia kembali memaksa kakinya untuk melangkah dengan cepat. Namun saat sampai di ujung lorong, batang hidung gadis itu tak lagi tampak. Jejaknya seolah tertelan oleh bumi. Mungkin ia sudah masuk ke salah satu ruangan.

Tak lama bunyi denting ponsel terdengar dan membuatnya mendegus, Papa sudah memintanya kembali untuk melakukan pemeriksaan.

•••

Jeng jeng jeng

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jeng jeng jeng. Ini nih sohibnya Lele. Jibran Cetta Hastungkara alias Icung.

Sebentar-sebentar mau oleng dulu nih ke icung.

Ngomong-ngomong si gadis tadi tuh saha ya? Aneh banget nih, jangan-jangan penguntit lagi.

Oke di next part bakal .. apa hayo?

Follow ig @theonly.vv

-30 Maret 2020

My PageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang