1. TITIK TEMU

133 34 46
                                    

Dentingan piano terdengar diseluruh penjuru ruangan. Alunan merdunya mampu menghipnotis setiap pengunjung yang datang, mereka terpaku akan penampilan seorang wanita cantik yang berada dibalik alat itu. Tangannya begitu lincah menari-nari diatas tuts balok piano, menyalurkan rasa yang menggelayut dihatinya dalam setiap iringan nada yang tercipta. Ya! Baginya musik adalah hidupnya.

Alunan melodi berhenti dan berganti dengan tepuk tangan yang meriah. Gadis itu berdiri dari duduknya dan berjalan kedepan piano, badannya agak dibungkukan sebagai bentuk apresiasi terhadap para pengunjung yang sudah berkenan mendengarkan alunan pianonya. Setelah itu ia berjalan keluar panggung, menuju belakang panggung dan menghampiri pemilik cafe.

"Nadira Sasmita penampilan lo sangat memukau sayang."

Celetuk itu yang selalu ia dengar selepas tampil. Ya! Bagi Nadira saat orang itu mengucapkan kata yang 'sayang' membuatnya bergidik ngeri. Mengapa tidak? Pasalnya bukan hanya dirinya, mungkin banyak perempuan di luaran sana yang di panggilnya seperti itu.

Dasar kemaruk! Batin Nadira.

"Ah, lo mah semua orang dipanggil sayang mulu."

"Tapi sayang gue ke lo tulus kok," ucap santainya.

Nadira yang mendengar itu hanya tertawa, sudah biasa dia mengucapkan kalimat itu. Jadi anggap saja jika Nadira sudah kebal.

"Ya udah kalau gitu, gue mau pulang dan terima kasih buat hari ini," ucap nadira sambil berjalan berlalu, meninggalkannya.

"Eh Nad, tunggu. Gue lupa, ada yang ingin ketemu sama lo."

Nadira menautkan alisnya, bingung. Siapa yang mau bertemu dengannya? Biasannya tak ada yang boleh bertemu dengannya bila disini. Tapi sekarang?

"Siapa?"

"Gak tahu."

Nadira membelalakan matanya, terkejut, "Kok lo bolehin?"

"Dia kasih cuan ke gue, mana bisa gue tolak." Ucap entengnya dengan wajah polos.

"Vano!!! Lo mau jual gue?"
Sekarang ganti Vano yang terkejut, dari mana Nadira mempunyai pendapat seperti itu? Menjual Nadira? Ah, sepertinya itu pilihan terakhir yang tidak akan pernah Vano lakukan. Terlalu sayang.

"Ngaco lo! Dia bilang lo yang ngundang, makanya gue kasih izin. Awalnya sih gue tolak, tapi dia kasih kompensasi sama gue. Jadi.... Ya gitu deh, lo pasti tahu," balas Vano dengan wajah cengegesan.

Nadira menarik napas gusar, ia beropini bahwa yang ada diotak Vano hanyalah uang dan uang. Bagaimana tidak? Lihat saja, sekarang tempat yang biasa ia manggung itu punya Vano. Meski masih berumur delapan belas tahun, Vano sudah memiliki penghasilan sendiri. Yap, dari kafe. Kafe miliknya terbilang cukup memiliki omset yang besar, tak penah sepi pengunjung dan dia sudah memiliki dua cabang. Jadi, pikiran Nadira tidak salah, bahwa Vano adalah orang yang cerdik dalam menghasilkan uang.

"Ogah, gue mau pulang!"

"Tapi Nad, lo temuin bentar aja."

"Ogah Van, gue capek mau pulang dan lo kan udah tahu kalau batas pulang gue cuma sampai jam sepuluh, nanti telat."

"Sebentar aja, lo nggak kasihan sam--"

AksaRa [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang