"Ta... lo kalah kan main semalam???" obrolan diantara makan siang hari ini di buka Brian, sahabat gue yang hobi banget rebahan, tapi tetap kaya.
Gue cuma ber"hmmmm" pelan dan fokus ke steak gue yang baru aja datang. Gue sama Brian lagi lunch di salah satu resto steak langganan kita. Ngobrolin project kerjaan kita untuk salah satu perusahaan. Pusing gue, banyak banget maunya. Dan karna itu juga, semalam gue sama dia main PS sampe subuh.
Emang agak nggak jelas sih sahabat gue satu ini. Dia bilang, yang paling banyak kalah, harus di hukum. Tapi hukumannya boleh nyusul. Suka - suka dia aja mau kasih hukuman apa, dan kapan.
Kesel kan gue. Bodo amat. Gue tinggal tidur aja sekalian. Capek banget tangan sama leher, apalagi mata gue. Semalam suntuk main PS, berujung kalah telak juga. Ya salah gue, harusnya gue nggak lawan dia yang emang King of Games.
"Hari ini gue kasih ya challange buat lo." celetuk sahabat gue tanpa dosa.
Gue lebih fokus ke makanan gue dari pada harus nyaut. Gue lapar karna nggak sarapan dan harus meeting pagi. Untung aja gue tadi pagi masih bisa bangun.
"Lo sariawan apa gimana?" Brian kesel gue cuekin.
"Gue lapar." saut gue tanpa mau repot menoleh ke dia.
Resto langganan gue sedikit sepi siang ini. Cuma beberapa meja yang terisi. Gue masih nunggu Brian selesai makan sambil mengecek kerjaan lain saat meja sebelah gue terisi.
Gue yang peka banget sama suara, langsung menoleh karna suara tarikan kursi yang lumayan keras. Seorang cewek dengan setelan kasual berambut panjang yang diikat ekor kuda, dia sendiri. Dan kelihatan sibuk dengan tumpukan kertas yang dia geletakkan di atas meja lebih dulu sebelum akhirnya duduk.
Gue kembali fokus ke ponsel gue. Membaca berita Nasional hari ini. Agak berat ya? Tapi harus. Karna gue nggak suka nonton TV, jadi gue harus rajin update lewat situs - situs resmi mereka. Atau timeline di medsos.
"Mas..." sebuah sapaan mengintrupsi meja gue.
Gue menoleh, Brian juga menoleh. Gue bisa lihat senyum canggung aneh dan ekspresi janggal di wajah cewek ini. "Iya mba??"
"Hmmmm... Mas punya pulpen? Boleh pinjam nggak??" suaranya bahkan aneh. Sedikit parau.
"Pulpen gue di mobil. Lo ada?" Brian nyaut duluan.
Mau bilang nggak ada kok rasanya jahat, karna si ekor pulpen gue juga pasti keliahatan nyempil di saku kemeja gue. "Pake aja punya saya, mba." dan gue tarik pelan akhirnya si pulpen dari saku.
"Saya pinjam dulu ya mas." dia mengambil pulpen yang gue ulurin sambil tersenyum tipis. Dan balik ke mejanya.
Gue balik fokus baca berita sambil nunggu Brian kelar. Dia punya aturan sendiri saat makan. Tidak bisa di ganggu hal lain kecuali mendesak. Termasuk ngobrol.
"Yok balik...." tiba - tiba dia udah kelar aja. Gue bisa lihat betapa lapar sahabat gue ini dari piringnya yang bersih.
"Nggak jadi nih ngobrolnya??"
Brian mengetuk jam tangannya pelan. "Udah jam balik, ntar aja kalo kita nyatai."
Gue iyain aja dan kita berdiri dari meja. Gue jadi inget kalo pulpen gue masih di cewek itu pas gue balik badan. Tapi gue lihat dia serius banget mengisi lembaran kertas yang di bawa tadi. Gue jadi nggak enak mau ganggu.
"Mba, boleh minta kertas sama pulpen nggak?" tanya gue ke kasir.
Mba kasirnya nyodorin kertas dan pulpen di atas meja kasir sembari mengurus pembayaran Brian waktu gue nulis pesan.
"Makasih ya mba. Ini tolong kasih ke mba yang di dekat jendela itu. Yang duduk sendirian." pesan gue sambil nunjuk si cewek yang ada di belakang gue.
Brian ikut noleh, dan liat ke gue lagi. Tapi nggak nanya apa - apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Risk
RomanceMau jalan yang lo pilih itu berkelok atau lurus, semua tetap ada resikonya. Lo yang memutuskan untuk berani mengambil resiko yang mana...