SATU

17 2 0
                                    

Kring...kring..., bunyi alarm pagi ini benar-benar memaksaku untuk bangun dari mimpi indah. Ada rasa berat hati sebenarnya. Mataku memaksa tidur lagi, ternyata tak mudah. Setelah mutar sana-sini tak dapat kembali kupejamkan mata ini. Dan dengan berat hati kulepas selimutku ketika...

"Ra, ingatkan hari ini ada seminar IDI? Jangan telat ya"

WA dari Rini rekan kerjaku membuatku melonjak. Oh God, how dare? Aku hampir lupa akan hal itu. Dengan terburu-buru kusambar handukku memasuki kamar mandi.

***

Medical Update Symposium Novel Coronavirus (2019-nCov). Judul yang sedikit membuat merinding bumi beberapa bulan belakangan ini. Judul yang membuat kami para dokter juga tenggelam dalam seminar kali ini. Betapa tidak, Corona virus (COvid-19) yang belakangan ini berada diatas daun berhasil merenggut nyawa ratusan orang di Wuhan dan di negara lainnya. Pembunuh kecil tak kasat mata namun mematikan.

Lihatlah, disana betapa seriusnya para dokter itu, baik yang muda dan yang tua. Ada dari mereka sampai mengerutkan dahinya. Disudut sana, ada pula dokter yang menulis seraya mendengarkan pembawa seminar.

Walau masih berstatus baru dalam dunia per-ASN (Aparatur Negeri Sipil)- an, aku sudah biasa dengan hal ini. Seminar menjadi salah satu kegiatan wajib dalam dunia Kedokteran sepertiku. Tak hanya untuk menambah pengetahuan, juga sebagai bahan untuk mengetahui perkembangan yang terjadi dan ditambah pelatihan. Jadi sangatlah wajar jika kami sebagai dokter sangat serius dalam mengikutinya. Bahkan terkadang cemilan yang sengaja dihidangkan di atas meja, tidak tersentuh.

Drettt...Drett... HP yang kusengaja berada dalam mode getar mengganggu fokusku. Cepat kubuka WA yang masuk.

"Sayang, nanti selepas seminar kita cek gedung pernikahan kita ya, kamu gak lupakan?"

Aku tersenyum dalam hati. Akh. Bagaimana bisa aku melupakan ini. Beberapa bulan lagi kami akan melangsungkan pernikahan. Ya, aku dan kekasihku Dery.

"Siap pak bosku tercinta"

"Kesel jika kamu sudah seminar. Rumah Sakit tanpa kamu, bagai pasien tanpa dokter L"

Dia mulai menggodaku. Kali ini senyumku tampak mengembang luas.

"Cie yang dapat chat pacar" Rini berhasil membuatku bergidik seperti maling yang ketahuan.

"Dery, mengajak cek gedung pernikahan"

"Ato hanya alasan rindu?" Kembali Rini menggodaku sambil menyenggol lengan kananku.

"Nanti kuhubungi ya sayang selesai seminar" Cepat-cepat kubalas WA Dery sebelum Rini semakin menggodaku dan mata para dokter lainnya menatapku tajam.

***

Disinilah aku berada. HIS Patrajasa Yudistira, gedung pencakar langit di salah satu bilangan Jakarta. Mataku nanar mencari pria jangkung berukuran 170 cm dengan rambut rapi belah samping. Katanya ia sudah tiba ½ jam yang lalu. 'Dimana Dery?', lirihku sambil menekan angka 2 dalam dial teleponku, menghubunginya.

"Sayang" Seorang pria jangkung dengan rambut belah samping serta berbaju putih hitam garis-garis melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Itu dia. Dery. Akupun berjalan ke arahnya.

"Maaf telat", kataku manja seraya duduk setelah Dery memberikan kursi untukku.

"It's okey honey", kecupnya di pucuk kepalaku. "Look, this is the list, they've given" Dery memberikan beberapa list bergambar padaku. Beberapa motif yang dapat dijadikan bahan untuk ulasan kami. Tanganku membolak-balik list dalam bentuk tabloid itu. "Jika kamu bingung, mereka akan memberi penjelasan kembali. Tadi aku sengaja meminta untuk menunggu kamu dahulu. Sebentar ya sayang" Dery memanggil seorang Staf yang khusus membantu kami.

"Ini calon pengantin wanitanya pak?" Seorang wanita tersenyum sambil mengulurkan tangannya menjabatku. "Saya Sita mbak, saya yang akan membantu dalam pernikahan mbak"

"Laura. Panggil mbak aja" Kubalas jabatan tangannya dengan senyuman.

"Mbak cantik" Ntah benar ntah tidak. Perkataannya itu mantap membuatku malu.

"Tak hanya rupanya mbak, hatinya juga makanya saya tergila-gila setiap detik padanya" Dery telak melukis saus tomat di wajahku. Wanita bernama Sita itu tersenyum mendengarnya.

"Jangan dengakan mbak. Kita ke list ini aja. Boleh dijelaskankah mbak yang ini?" Kutunjuk salah satu listnya.

"Oh yang ini mbak. Ini kapasitasnya 1500 orang mbak dengan keunggulan ballroom full karpet dengan warna elegan yaitu gold dan navy blue yang dilengkapi dengan 6 buah chandelier, akses ke ballroom tidak hanya pakai lift tapi ada escalator langsung di depan pintu masuk gedung. Gedung ini merupakan single ballroom loh mbak jadi tidak ada ballroom lain dalam satu gedung. Kita juga memiliki area voyage yang dapat digunakan untuk penempatan buffet dan foot stall dan ada lorong tambahan di dalam ballroom yang dapat digunakan untuk penempatan kursi tamu atau area food stall. Ballroomnya akan kita hiasi dengan gorden berwarna gold. Dan seperti permintaan dapat kita padukan dengan WO lain. Daripada meraba-raba kita langsung saja melihatnya yuk" Berlalu menuju tempat yang nantinya akan menjadi saksi sejarah kami. Ya aku dan Dery.

***

"Kamu kenapa sayang? Dari tadi kelihatan tidak bahagia. Apa kita cari gedung lain lagi?" Dery mengejutkan lamunanku. Ia begitu mengenalku.

"Jangan, jangan. Kitakan udah booking fee. Lagian tempatnya bagus kok. Private" Buru-buru kucekal omongan Dery. "Aku hanya kurang yakin aja 1500 itu apa gak kegedean ya? Secara dari keluargaku tidak akan ada yang hadir" Aku menunduk lesu. Keadaannya memang seperti itu.

"Sayang" Dery memelukku dan menyandarkan letak leherku ke pundaknya. "Are you sure about this? I mean, kita masih punya waktu bukan untuk membujuk mama papa kamu" Aku menggeleng dalam pelukannya. Disudut mataku air mata tampak tertahan. "Aku gak mau kamu menyesal kemudian. Restu mereka adalah doa terbesar buat kita"

"Gak Der. Kita sudah melakukan itu dan itu menyakitkan. Kembali kepada mereka dan melepaskan dunia kedokteranku itu sesuatu yang gak bisa kulakukan Der. Kamu tahu itu. Restu? Dari Mereka? Mereka hanya menginginkanku kembali mengelola bisnis mereka Der dan pada akhirnya kamupun akan masuk dalam bisnis mereka. Aku sungguh mengenal mereka" Aku memeluknya semakin erat berharap beban itu melebur.

"Sayang" Dery menciumi pucuk kepalaku. Dibelainya rambut panjangku. "Maaf ya. Beratkah?"

Aku mengangguk. "Tawa pasien bagiku segalanya sayang. Dunia mereka duniaku juga. Mereka butuh aku dan aku juga. Please don't ask me that again" Kini Dery yang bergantian mengangguk.

***

WSOC (WE SHALL OVER COME)Where stories live. Discover now