Chance

19 3 0
                                    

“ Aku mencintaimu,sungguh. Apapun yang terjadi,kau harus bersamaku Zahra!!  AKU.MENCINTAIMU.”

Lagi! Semua kata-kata itu terngiang di telingaku,menari dalam fikiranku. Seolah mantra dalam diriku. Ah aku lupa,itu bukan mantra,tapi racun yang selalu bertengger dalam otak dan hatiku.

Seharusnya aku tidak membiarkan dia masuk dalam hidupku,seharusnya aku tidak menerima tipuannya dengan tangan terbuka,seharusnya aku tetap mengabaikan dia,seharusnya... Ah sial! Terlalu banyak kata  SEHARUSNYA yang seharusnya tidak boleh aku fikirkan saat ini.
Semakin aku fikirkan maka semua racun itu semakin menyebar di dalam tubuhku. Menyatu dalam darah dan tubuh ku,bahkan mungkin racunnya kini bertengger dijantungku dan memompa nya keseluruh tubuh hingga rasa sakit itu kian mendera seluruh organ tubuhku.

Adis imade wijaya. Seorang lelaki keturunan Tionghoa yang menarik perhatianku. Seseorang yang mengenalkan ku tentang arti kehidupan. Awal perkenalan kami pun bisa dibilang hanya dari sebuah chat yang berkembang menjadi pertemuan singkat.

Dia menyengangkan,tentu saja.Siapa yang tidak mengenal Adis imade wijaya. Seorang anak dari sesepuh tersohor yang tak lain merupakan seorang  Pandita agama Hindu di Bali.

Sesorang yang kini menjadi buah bibir masyarakat Bali dan penganut agama Hindu lainnya karena pernikahannya dengan seorang putri cantik bak bidadari.

Bohong jika aku mengatakan aku baik-baik saja. Hey,meski bibir tersenyum,meski wajah terangkat tegak, tidak ada yang tahu dari isi hati seseorang bukan.

Hari dimana kau terluka,bisa jadi itu adalah hari dimana seseorang amat sangat bahagia.
Kita tidak tahu apa yang terjadi dibelahan bumi ini bukan? Jangankan di ujung bumi, hal yang terjadi di ruang tengah rumah saja kita tidak tahu.

Sama seperti saat ini.
Aku tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Melalui siaran televisi yang ada dikamarku,aku bisa melihat senyumnya, senyum hangat yang selalu dia berikan padaku, aku bisa melihat bagaimana dia menggenggam tangannya,tangan yang pernah menggenggamku . Ah bahkan aku masih bisa merasakan kehangatan tangannya saat mendekapku. Aku bahkan tidak tahu apakah semua yang dia tampilkan murni dari hatinya ataukah hanya sebatas pencitraan, kepalsuan. Ya Tuhan, ini menyakitkan. Amat sangat sakit. Seolah sesuatu kini meremas hatiku amat kuat.

Aku mematikan saluran televisi itu,membanting remote nya hingga kini hancur berkeping.

Ah , bahkan mungkin remote pun sedang meledekku sekarang, seolah dia mengingatkanku bagaimana hatiku saat ini Hancur.

“ Aku tidak  bisa mengikutimu Zahra, kau tahu jika ayahku adalah pandita, aku tidak mungkin mencoreng mukanya.”

“ Tapi kau berjanji Adis, kau berjanji akan mengikutiku. Kau bilang kau mencintaiku bukan?”

Dunia mengatakan jika cinta itu gila,tapi bagi Cinta, Dunia itulah yang gila.

Dulu,mungkin aku tidak menyetui kata-kata itu. Terlalu berlebihan. Itu kataku saat dulu.
Tapi,kini aku mengerti. Ambisiku yang ku tutup dengan kata cinta membuatku buta,membuatku lupa jika kita tidak akan pernah bisa mengubah orang lain. Sebesar apapun usaha kita,sekuat apapun usaha kita, kita tidak akan pernah bisa merubah orang lain jika orang tersebut tidak pernah tergerak untuk berubah.

Dan aku.... Aku dengan angkuhnya merasa bisa merubah seseorang dengan berbekal cinta. Cih,bahkan aku kini terluka oleh kata laknat tersebut.

Adzan magrib menyadarkanku dari semua rasa sakit ini. Membuatku lebih tergugu. Ya, bagaimana aku bisa mengambil sebuah keputusan gila ini, menerobos semua halangan yang seharusnya tabu untuk dilakukan.

Zahra ainun maryam. Seorang muslimah berani merajut kasih dengan seorang putra pandita tersohor di Bali.
Bagi sebagian orang, mungkin mendengar ceritanya saja sudah membuat  bulu kuduk meremang dan bergidik ngeri. Bagaimana seorang bisa dengan angkuh,berani melawan sang pencipta demi hasrat semata.

“ Kau gila Zahra. Apa kau sadar apa yang kau lakukan?”
Aku gila! Iyaa, mereka benar, aku gila! Aku gila.

Bahkan sekarang rasanya seluruh sendiku mati rasa. Hanya hatiku yang mengamuk pedih,meraung,namun tak bisa berteriak. Mulutku terkunci, seolah memberiku hukuman untuk tidak berbicara apapun karena penghianatan yang aku lakukan pada pencipta.

Seluruh semesta bahkan seolah menggemakan makian dan hinaan pada ku.
Aku memeluk tubuhku erat, seolah membentengi diri dari sesuatu yang akan membuatku lebih hancur. Namun, tanpa aku sadari jika penghancur itu justru telah melebur dalam diriku saat ini.

Aku membuka mata, berdiri dan bergegas mengambil wudhu. Kusapukan telapak tangan ku pada air yang mengalir, seolah membersihkan seluruh sentuhannya pada tanganku,membersihkan mulutku dari semua kata manis yang terucap untuknya, membasuh mukaku dari semua pandangan semu duniawi, kembali ku sapukan tangan hingga tumit, seolah membersihkan seluruh tubuhku dari pelukannya dan dahiku dari usapan lembutnya, ku bersihkan telingaku dari bisik rayunya dan kakiku dari langkah yang membawaku pada kubangan dosa.

Aku mengambil mukenah yang bertengger di lemari, memakainya dan menata hati pada sang Khalik.
Berkali ku kuatkan hatiku, namun ku lemah, kutundukkan kepalaku pada-Nya, malu menyergapku saat ku angkat tanganku dan seluruh tubuhku bergetar saat kata AllahhuAkbar keluar dari bibirku.
Air mata yang berhenti kini mengalir deras dengan lantunan ayat yang kubaca. Aku bahkan menggigil saat melakukan sholatku, seolah mengakui dosa pada sang Pencipta semesta. Dengan disaksikan dinding-dinding kamar yang kini terasa menghimpit ku, dengan deru angin yang menyibak gorden kamar dan mungkin malaikat yang berada disekitarku.

Aku mencicit,berkata lirih dalam ayat yang ku lantunkan, merayu,memohon kesempatan kedua dan saat tiba pada sujud terakhir di rakaat ketiga, kata itu keluar,kata yang mewakili semua rasa penyesalan dalam diri dengan bergetar aku mengatakannya.

Maaf, maaf, maaf. Maafkan aku ya Allah.

RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang