Ia duduk sendiri di bangku taman. Buku di pangkuan ia abaikan untuk melihat warna langit yang mulai jingga. Biasa saja. Tidak ada perasaan tenang atau bahagia yang selalu dituliskan penulis novel dan penggemar senja. Lalu, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling taman. Ramai. Teriakkan anak kecil dan tawa bahagia para orang tua serta pasangan remaja yang dilanda asmara.
Ia tidak mengerti. Apa yang menyenangkan? Mengapa senyum mereka bisa sangat lebar?
"Hai! Boleh duduk di sini?"
Ia menoleh, mendapati gadis dengan kaos hitam longgar dan celana jins meminta izin duduk di samping bangku taman yang kosong.
"Boleh." Singkat. Ia memang tak suka berbicara banyak apalagi berbasa-basi dengan orang tidak dikenal.
"Sendirian?"
Ia mengernyit kala gadis tomboi itu sudah duduk dan menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
"Em, Tisa. Nama kamu?"tanya gadis tomboi itu. Sedangkan, yang gadis tomboi itu ajak bicara kembali fokus pada bacaannya yang tadi dibacanya.
Tisa terlihat canggung sendiri. Mungkin ia salah memilih duduk di bangku ini. Lihat saja, gadis yang ia ajak bicara justru tak menggubrisnya sama sekali. Apa gadis ini pemalu? Tentu saja tidak. Tisa sudah mengamati gadis ini sedari tadi. Gadis ini mengamati setiap hal dengan tatapan tenang. Tidak ada rasa gugup sama sekali. Justru aneh, sebab Tisa yang merasa terintimidasi dengan tatapan intens saat ia meminta izin untuk duduk tadi. Padahal biasanya ia selalu menatap tegas dan berani orang yang ia ajak bicara. Entah, efek mistis apa yang gadis di sebelahnya ini bawa hingga Tisa merasa sedikit takut.
"Bahagia itu seperti apa?"
Tisa sedikit tersentak saat mendengar suara pelan gadis di sebelahnya.
"Bahagia?" Tisa menoleh dan kembali mendapat tatapan lurus yang seolah menembus retinanya. Namun, tatapan itu lebih kuat karena mengandung rasa penasaran yang besar.
"Bahagia itu seperti..... hmm, apa ya, aku juga bingung jelasinnya gimana. Kamu pernah seneng, kan? Kayak waktu kamu dapet hadiah, nah kamu kan ngerasa seneng. Dan perasaan seneng itu sama kayak perasaan bahagia." Tisa rasanya ingin bertepuk tangan untuk dirinya sendiri, karena bisa menjawab pertanyaan gadis datar di sebelahnya itu.
"Aku nggak pernah dapat hadiah." Tisa bungkam. Ia merasa tak enak. Ish, kenapa otaknya tak bisa berpikir cerdas. Memang tidak semua orang selalu mendapat hadiah, kan.
"Em, sorry kalau gitu. Ya, kamu bayangin aja hal yang kamu suka dan kamu bisa ngelakuin hal itu seterusnya." Okay, Tisa rasa jawaban itu cukup bisa diterima semua orang, tanpa sadar ia tersenyum. "Nggak ada hal yang aku sukai." Tisa menoleh, gadis di sebelahnya menatap senja dengan tatapan kosong. Hampa. Tisa baru menyadari jika tatapan gadis itu bukan tatapan datar yang biasa, tapi tatapan kosong tanpa perasaan. Dan karena itu Tisa merasa sedikit ketakutan.
Tidak.
Tisa merasa sangat ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATI RASA
General FictionIa lupa kapan terakhir kali ia menangis. Ia tak ingat kapan terakhir ia tersenyum. Ia tak tahu kapan terakhir ia bisa merasakan simpati. Hampa. Tak ada rasa dan perasaan. Apa ini mati rasa? Ia bahkan tidak tahu. Yang ia tahu, ia hanya perlu hidup sa...