Bab 3

17 0 3
                                    

Tisa menggosok telinganya yang berdengung. Kakak laki-lakinya yang lebih cerewet dari ibu-ibu itu masih melanjutkan sesi kotbah yang ke- entah yang ke berapa. Belum lagi badannya yang terasa nyeri karena adegan laga tadi malam. Ia yang kelimpungan berlari dari Moana; ratu kematian. Bukan Tisa yang memberi julukan itu, tapi semua siswa di SMA Briliant yang menyematkan posisi terhormat itu untuk Moana. Mereka bilang Moana itu memiliki aura seperti Malaikat Maut, jika ada didekat Moana maka napas mereka akan terasa sesak, hawa di sekitar menjadi dingin dan hanya tinggal menunggu waktu sampai napas mereka berhenti. Berlebihan, awalnya Tisa menganggap hal itu berlebihan sampai ia melihat tatapan mematikan Moana yang seolah ingin membunuhnya tadi malam, jika ia tidak segera pergi menuruti ucapan Moana kemarin malam.

Tisa segera menutup sambungan telepon dan mematikan ponselnya saat angkot yang ia naiki berhenti di halte depan sekolahnya. Ia membayar lalu turun bersama dengan beberapa anak SMA Briliant yang satu angkot dengannya tadi.

"Duluan ya, Tis." Tisa mengangguk dan melambai pada mereka yang berjalan mendahuluinya. Ia menggerak-gerakkan tubuhnya untuk melemaskan ototnya yang kaku. Sampai di depan gerbang sekolah, langkah Tisa terhenti mendadak. Ia menatap lurus pada gadis yang keluar dari mobil Honda Brio warna merah marun itu. Gadis itu cantik, sangat cantik bahkan bisa mengalahkan Hestia yang terkenal menjadi ratunya para dewi. Kulitnya mulus tanpa cela, rambut sebahunya ikal dengan sedikit warna navy di ujungnya yang terlihat saat tersorot sinar matahari, hidung mancung tapi tak berlebihan, mata bulat besar yang menggemaskan. Ya Tuhan, semoga Tisa tidak kehilangan orientasi normalnya. Ia mengerjapkan mata dan memukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Lalu, keningnya mengernyit, ia merasa melupakan sesuatu. Hingga ia tersadar saat ia melihat Moana yang keluar dari mobil yang sama dengan sang dewi yang menghipnotis semua orang termasuk Tisa, berjalan menghampiri Tisa.

"Dasi?" Tisa meringis. Bagaimana bisa Moana sadar hal yang bahkan baru diingat Tisa saat melihat Moana keluar dari mobil tadi.

"Lupa, Mo. Maaf!" Tisa mencoba memasang puppy eyes yang orang lain bilang bisa meluluhkan seseorang yang sedang marah."Lari. 5 kali.," mata Tisa terbelalak lebar.

"Lima putaran?" melihat Moana mengangguk kecil, tubuh Tisa seakan tak bertulang. Ia baru selesai maraton tadi malam karena Moana dan sekarang ia juga harus berlari karena hukuman dari Moana.

"Ehem. Gini, Mo. Kemarin malam itu kamu ngapain di sekolah malam-malam?," Tisa mencoba peruntungannya dengan sedikit mengancam Moana. Hanya saja wajah datar Moana semakin terasa menakutkan.

"Pak Sugi."

Tisa menelan ludah saat paham bahwa tadi malam Moana mendapat tugas dari pak Sugi; seksi Keamanan sekolah yang galaknya macam Hulk itu.

"Oke." Tisa melempar tasnya di dekat bangku pinggir lapangan. Ia memulai lari pagi yang tidak menyehatkan sama sekali.

Tak lama, ada dua anak laki-laki dan satu anak perempuan yang menyusul larinya. Tentu saja mereka juga melanggar aturan. Hanya saja Tisa tahu mereka segera berlari tanpa menunggu Moana mendekati mereka untuk memberi titah hukuman. Semakin banyak siswa yang mengikuti Tisa berlari mengelilingi lapangan. Tisa melirik tasnya yang sudah menghilang ditimbun tumpukan tas-tas yang lain. Tisa jadi sadar bahwa Moana sedang duduk di bangku sebelah tas para siswa pendosa yang lupa membawa dasi, gesper, salah kaos kaki bahkan ada yang salah memakai sepatu.

Tisa langsung terduduk agak jauh dari bangku Moana. Ia meluruskan kakinya. Diikuti banyak siswa pendosa lainnya yang sudah menyelesaikan hukuman mereka. Belum reda degup jantungnya yang memburu. Moana sudah berjalan mendekati mereka. Tisa bisa merasakan teman-teman di sebelahnya sedikit gelisah.

Moana berdiri di tengah-tengah mereka. Ia membuka kertas nila tergulung rapi yang sedari tadi dibawanya. Tisa baru menyadari itu.

"Gambar. Persis."

Kertas nila yang kini terbuka lebar menampakkan gambar Negara Kesatuan Republik Indonesia lengkap dengan nama pulau, propinsi, dan kota. Ditambah simbol gambar hasil perkebunan dan pertambangan dari kota-kota tertentu. Tisa ingin muntah sekarang juga.

"Buat sendiri-sendiri." setelah putusan itu disahkan. Moana memberikan gulungan kertas nila itu pada Tisa. Yang diterima dengan linglung oleh gadis tomboi itu.

"Kumpulkan besok!" Sudah. Itu terdengar seperti putusan hukuman mati untuk Tisa. Ia benci menggambar. Apalagi menggambar peta. Rasanya Tisa akan pingsan saat ini juga.

"Selesai?" Moana menatap Insa yang berdiri di depannya, menghentikan langkahnya menuju ke kelas. "Hm,"

"Kalau gitu antar aku ke kantor kepsek." Moana mengangguk kecil, lalu ia berjalan berbalik arah menuju ruang kepala sekolah. Insa membuntuti dengan senang, mengabaikan tatapan memuja kaum Adam dan lirikan iri serta kagum kaum Hawa.

@@@@@

Mengantuk,
bola matanya meredup,
Ia mengutuk kantuk yang coba memeluk

Tolong!
Bisakah ia menyisihkan waktu tidur?
Ia masih ingin melepas rindu dengan malam kelam

Tapi, dayanya hanya sebatas pukul sebelas malam
Selamat terlelap!
Jiwa rapuhku.

Jumat, 18 September 2020.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MATI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang