Yang Meninggal Saban Malam

17 2 0
                                    

Aku kembali ke jalan itu untuk menemukan percakapan yang belum sempat kami tuntaskan. Saat kedatangan, warna langit biru terang. Ilalang-ilalang hijau lebat merayapi jalan. Tak jauh dari tempatku berdiri, suara lonceng sepeda tua semakin awas. Kudapati sosok berperawakan tegas dari jauh kian mendekat. Sama seperti tahun-tahun dahulu, ia masih setia berseragam loreng dan bersepatu hitam, kombinasi paling ia sukai selama bertugas, katanya.

"Mengapa engkau kembali?" Tanyanya ketika jarak kami hanya sekitar dua langkah.

"Aku akan menikah"

"Syukurlah."

"Antarkan aku ke altar, paling tidak, cobalah bertemu dengannya."

"Kau lupa, ya?"

Layaknya bumi mengintari matahari, angin mengintariku. Kemudian tusukan dinginnya menerobos pori baju. Aku beranjak kedinginan.

"Maksudnya?" Tanyaku penasaran.

Laki-laki itu tersenyum.

Melukis BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang