| Prolog |

87 17 5
                                    

☁️☁️☁️

Langit kelabu menghunjam bumi. Tangis abu-abu membanjiri dataran pijakan si empu yang sedang bersimpuh. Sesak dadanya. Butiran bening mengalir bersama dengan tangisnya langit.

Ini bukan ilusi. Semua tersaji jelas di depan mata, kenyataan pahit yang harus ia telan dengan berat hati.

Gundukan tanah merah dan batu nisan itu sebagai ciri sesosok yang benar-benar pergi, yang menjadi sebab tumpah ruahnya tangis Langit.

Ingin rasanya menafikan kenyataan pada Tuhan. Telanjur. Semua sia-sia, hanya sesal yang dapat ia tuai.

Kini siapa yang harus disalahkan, dirinya sendiri atau manusia yang ia anggap munafik di sampingnya kini. Wanita yang sedang setia menemani terpuruknya dengan menggegam sebuah payung untuk dirinya dan merelakan dirinya menerima basahnya hujan yang menimpanya. Dia, dia penyembunyi raib besar separuh bagian jiwanya.

Langit terisak terisak lantang menyesali waktu silam yang sempat ia siakan. Sementara wanita itu, ia mengeluarkan butiran berliannya begitu deras meski begitu ia lebih memilih menahannya. Sendu. Pilu hati menyesakkan jiwa.

اَلْوَقْتُ أَنْفَاسٌ لَا تَعُوْدُ

“Waktu adalah nafas yang tidak mungkin akan kembali.”

☁️☁️☁️

Hai... Assalamualaikum ☺️ ini cerita baru ya... Terimakasih sudah sempat mampir di cerita keduaku ini... Silahkan vote jika suka... Jika typo tandai, oke😉

Langit [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang