"Makasih ya Bi,"
Bian tersenyum, menatap Madeline yang baru saja turun dari montornya, membuka helm lalu balik menatapnya, sambil tersenyum, kan kan bisa-bisa katarak dadakan gue woe.
"Sama-sama, sering-sering ya ngerepotin gue," canda Bian, Madeline terkekeh.
"Kalau Mad ngerepotin Bian terus kapan mandirinya coba,"
Bian menggeleng lemah, masih tersenyum. Matanya tak sengaja menatap halaman rumah Mad, di balik pagar abu-abu, sepi. Bian kembali menatap Mad, bertanya, "Kok sepi? ada orang kan?"
Senyum manis Madeline hilang, menunduk sebentar, kemudian berbalik menatap halaman rumah, dengan kursi dan meja kecil di tengahnya, beberapa tanaman bunga daisy terlihat indah, dengan penerangan sedikit redup. Seperti mata Madeline. Menghela nafas kasar, matanya menatap pintu kayu jati berwarna coklat gelap, menerawang, "Ibu lagi jahit mungkin, kalau bapak sekarang lagi dinas ke Semarang." Jelas Madeline, menunduk memejamkan mata, masih memunggungi Bian yang kini sudah berdiri di belakang Madeline.
"Gue mampir boleh nggak? sekalian sih, mau minta maaf sama ibu, karena mulangin anak gadisnya kemaleman." Bian terkekeh, mencoba mengembalikan suasana.
Kaget, Madeline mendongak. Berputar memunggungi pagar abu-abu, menatap Bian dan lagi lagi tersenyum, "Pasti kena omel, suer ngga boong."
Bian tertawa pelan, membenarkan posisi jaketnya, mata hitamnya menatap rambut Madeline yang sedikit acak-acakkan. Tangannya terulur, merapikan dengan lembut. Madeline diam, membiarkan Bian melakukan semua sesuai keinginannya, ragu Madeline menolak, tapi jauh di dalam dirinya, perasaan senang mendominasi, membiarkan sisi kosong dalam dirinya terisi.
"Ayo masuk, banyak nyamuk sumpah," tangan Madeline menarik tangan Bian, yang sedang merapikan rambutnya dengan lembut.
Menggenggam, dan menarik, cukup ragu Bian menolak, cukup ragu juga dia menolak perasaan senangnya. Hingga keduanya kembali diam di depan pintu kayu jati berwarna cokelat gelap, tangan Madeline siap mengetuk, tapi tertahan setelah mendnegar bunyi kunci berputar, di dalam lobang pengait pintu. Lalu di tarik dari dalam, melihatkan sosok wanita berkepala empat, dengan senyum manisnya.
"Ibu, kok ngga nungguin duduk di luar, kan tadi Mad udah kasih tau," protes Mad, melepaskan genggamannya dari tangan Bian, beralih memeluk Ibunya.
Liana Adrian, tersenyum lebar menyambut pelukan Madeline, "Udah lama ibu nunggu, eh Mad ngga pulang-pulang, yaudah ibu masuk aja, lagian banyak nyamuk di luar," jelasnya, Mad mendongak, menatap Ibunya yang kini balik menatapnya.
"Ehm," Bian berdehem, membuat Madeline melepaskan pelukannya, beralih menatap Bian, yang berdiri di sebelahnya.
"Ini Bian buk, temen se angkatan Mad, anak Jakarta,"
Bian maju selangkah, tersenyum manis mengulurkan tangan, bersalaman sopan dengan Ibu Madeline yang menyabutnya dengan senang, senyum lebar.
"Ganteng banget le, arek Jakarta ternyata," ucap Ibu Mad, menggunakan logat Surabaya.
"Iya tante,"
Bian tersenyum, melepaskan tangannya dari tautan salaman sopan, matanya kembali menatap Madeline, yang dengan cepat balik menatapnya. Ibu Madeline menatap serius kedua remaja di depannya, sedikit menyipit, hingga Bian balik menatapnya, lalu tersenyum, "Tante maaf banget ya, pulangnya kemaleman," sopan Bian, menjelaskan maksud kedatangannya.
Ibu Mad bernafas lega, menatap Bian berbinar, tersenyum dan mengangguk, "Iya, lagian ini masih jam setengah delapan kan? dan Mad juga udah kamu anter pulang,"
Madeline tersenyum, begitupun Bian. Keduanya saling menatap, lega.
"Yaudah Bian duduk aja ya, Ibuk bikinin minum dulu," ucap Ibu Mad, ingin berbalik tapi Bian bersuara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mat and Mad
Teen Fiction❝Mat, ngga boleh ikut tawuran, kalo Mad juga ngga ikut tawuran bareng Mat.❞ ❝Gimana kalau biang tawuran gue itu elo? Masih mau ngintilin gue, ngerengek alay minta ikut tawuran bareng?❞ ❝Justru itu, karena Mad biangnya. Mad harus ikut tawuran sama M...