Desember dan Siang Itu

65 8 8
                                    

oleh : Dee.

Merasakan Rintik hujan yang jatuh di telapak tangan tak kalah indah dari mengagumi Senja di sore hari. Sangat mendamaikan. Tidak dingin namun sejuk. Itu pendapat orang yang teramat menyukai hujan. Dan akulah orang itu.

Siang ini berbeda dari siang biasanya. Setelah berbulan-bulan aku tidak merasakan kedamaian yang kudapat dari air hujan dan suasananya, hari ini aku mendapatkannya. Tepat pada awal bulan Desember. Hanya saja, aku tidak benar-benar menikmatinya karena hujan turun tepat saat perjalanan pulang dari sekolah, sehingga aku tidak bisa bebas untuk bermain di bawah air hujan dan hanya mengaguminya melalui beberapa tetes yang mengguyur damai.

Sudah lima menit aku berdiri dengan posisi ini. Mengadahkan telapak tangan kananku ke atas dan merasakan air hujan mengalir tenang, sedangkan tubuhku terlindungi oleh atap halte bus yang kini kujadikan tempat berteduh agar seragam yang kupakai tidak basah dan masih bisa dipakai untuk besok.

“Udah namanya kayak hujan, sukanya juga sama hujan. Gak ada yang lain dan lebih menarik daripada hujan?”

Oh, satu lagi yang menjadi alasanku tidak dapat benar-benar menikmati hujan hari ini. Orang menyebalkan yang tengah duduk di kursi halte di belakangku.

“Ada.” Ucapku sambil menoleh ke belakang. Menatap laki-laki yang kini berbinar karena aku menjawab pertanyaannya setelah sejak tadi kuacuhkan.

“Awan mendung.” Lanjutku, kembali menoleh ke depan menatap tetesan air hujan yang kesekian kalinya.

Aku mendengar ia mendengus dan menghela napas gusar di belakangku. Aku tahu ia pasti bosan menunggu hujan reda. Walau nyatanya hujan siang ini tidak terlalu deras.

“Kenapa gak sekalian aja suka sama petirnya.” Lian berujar dan Aku tahu ia meledekku.

“Tadinya begitu. Tapi petir tidak memastikan hujan akan datang. Jadi aku gak suka petir.”

Lian terlihat bingung, “Bukannya mendung juga sama ya? Sama-sama tidak memastikan hujan akan datang. Bahkan menurutku itu lebih masuk akal.”

“Beda. Petir lebih sering buat orang takut, tapi mendung enggak.”

“Kata siapa? Banyak kok orang yang takut mendung.”

Aku berdecak kesal, “Mendung itu gak menakutkan dan gak perlu ditakutkan. Dia hanya awan kelabu dengan angin yang menyejukkan untuk mengantar hujan. Dan meskipun akhirnya tidak mendatangkan hujan, setidaknya mendung mengistirahatkan kulit dari panas matahari.” Aku menatap Lian sebal, “Lagian kan aku bilang aku yang suka mendung. Aku gak bilang atau nyuruh orang lain sependapat. Tiap orang beda-beda. begitupun tanggapan orang-orang tentang hujan.”

Aku melihat Lian tersenyum lebar. Ia beranjak dan berdiri di dekatku, lantas memutar badannya menghadap aku yang masih berdiri kesal.

“Ah, Rinai selalu pintar.” Ia mengacak rambutku dan menatapku masih dengan senyum lebar. “Ayo, ajari aku suka hujan.”

Aku mentapnya aneh.

“Maksudnya?”

Lian tak menjawab. Pandangannya beralih ke depan, kemudian tangannya ikut mengadah ke atas. Ikut merasakan air hujan mengalir di telapak tangannya.

Desember dan Siang itu [1/1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang