Hari-hari berlalu terasa begitu lambat. Sudah lima hari Baraka pergi ke Karang Setra, sementara orang-orang dari Lembah Maut sudah dua kali menyerang Desa Paringgi. Mereka membakar beberapa rumah, merampas barang-barang, dan membunuh penduduk yang sama sekali buta ilmu olah kanuragan. Kesengsaraan semakin nyata terlihat di Desa Paringgi. Sementara, Ki Gorapati sudah tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Sekali lagi orang-orang dari Lembah Maut itu datang, desa ini tidak akan tertolong lagi. Ini adalah malam yang keenam kepergian Baraka. Di beranda depan rumahnya, Ki Gorapati kelihatan gelisah sekali. Entah sudah berapa kali beranda depan rumahnya dikelilingi. Sementara ada sekitar dua puluh orang anak muda berada di sekitar halaman depan rumah kepala desa ini. Malam yang begitu pekat dan dingin, terasa sangat sunyi. Tidak satu rumah pun yang menyalakan lampu. Semua orang di desa ini tidak ada lagi yang berani keluar dari dalam rumahnya, kalau malam sudah jatuh menyelimuti seluruh Desa Paringgi ini.
"Kakang Baraka belum datang juga, Ayah...?"
Ki Gorapati berpaling begitu mendengar suara pertanyaan dari belakangnya. Senyumnya langsung terkembang, begitu melihat anak gadisnya tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu. Gadis manis berusia sekitar delapan belas tahun itu melangkah keluar, dan duduk di kursi kayu, tidak jauh dari tempat ayahnya berdiri.
"Belum," sahut Ki Gorapati agak mendesah perlahan suaranya.
"Kau belum tidur, Purwita...? Sudah larut malam."
"Aku tidak bisa tidur, Ayah," sahut gadis yang ternyata bernama Purwita.
"Apa yang kau pikirkan...?"
Belum juga Purwita bisa menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut dari sebelah timur. Ki Gorapati cepat melompat keluar dari beranda depan rumahnya ini, dan langsung berlari cepat diikuti anak-anak muda yang sejak tadi berkumpul di halaman. Mereka terus berlari-lari menuju ke arah sumber ribut-ribut itu. Tampak, tidak jauh dari perbatasan desa sebelah timur, sekitar dua puluh anak muda dengan golok terhunus tengah menghadang dua orang penunggang kuda. Dan mereka segera bergerak menyingkir begitu Ki Gorapati datang.
"Ada apa ini...?" tanya Ki Gorapati.
"Mereka memaksa masuk, Ki. Katanya penting, ingin bertemu denganmu," sahut salah seorang pemuda yang menghadang dua penunggang kuda itu.
Ki Gorapati memandangi kedua orang yang belum juga turun dari kudanya. Saat itu, salah satu dari dua penunggang kuda yang berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung melompat turun dari punggung tunggangannya. Dia adalah seorang pemuda tampan, dengan tubuh kekar dan berotot.
Sedangkan yang seorang lagi, adalah gadis muda yang sangat cantik. Bajunya warna biru muda yang ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan padat berisi. Dia juga segera melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu indah dan ringan. Dari sini bisa ditebak kalau gadis yang membawa kipas putih terselip di pinggang dan pedang bergagang kepala naga berwarna hitam tersampir di punggung itu tidak bisa dianggap sembarangan.
Dan memang, kedua orang itu tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi, yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka juga sering kali dijuluki Sepasang Pendekar dari Karang Setra.
Sementara itu, Ki Gorapati terus mengamati mereka yang sudah berdiri berdampingan di depan kuda masing-masing.
"Siapa kalian berdua? Dan apa maksud kalian datang malam-malam ke desa ini?" tanya Ki Gorapati agak dalam terdengar nada suaranya.
"Namaku Rangga. Dan ini, Pandan Wangi. Kami berdua adalah utusan dari Karang Setra," sahut Rangga memperkenalkan diri dan juga memperkenalkan Pandan Wangi. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya.
"Utusan dari Karang Setra...?" desah Ki Gorapati agak terperanjat.
"Apa kalian teman-temannya Baraka...?"
"Benar," sahut Rangga, singkat.
"Lalu, kenapa kalian tidak datang bersama Baraka?" tanya Ki Gorapati lagi.
"Baraka mendapat kesulitan dengan luka-lukanya di jalan. Dia telah bertarung melawan beberapa orang berpakaian jubah hitam. Dan dia...," jelas Pandan Wangi, terputus kata-katanya.
"Baraka tewas...?" desak Ki Gorapati lagi, terdengar agak bergetar.
Sepertinya, dia bisa menebak apa yang terjadi terhadap Baraka. Kedua pendekar dari Karang Setra itu hanya mengangguk saja.
"Oh.... Anak muda yang sangat berjasa terhadap desa ini. Budimu tak akan kami lupakan, Baraka. Tak ada sebutan yang pantas buatmu selain sebutan pahlawan," desah Kepala Desa Paringgi itu.
"Dia telah damai di Nirwana, Ki," hibur Rangga.
"Biarlah kabar ini aku yang akan menyampaikannya pada adiknya."
Kini Ki Gorapati memerintahkan pemuda-pemuda desa yang mengelilingi untuk kembali ke tempat masing-masing. Dan hanya sekitar dua puluh orang saja yang masih mendampingi kepala desa itu.
"Maaf atas penyambutan yang tidak menyenangkan ini," ucap Ki Gorapati.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ki. Aku justru kagum dengan kesigapan mereka," ujar Rangga.
"Mereka semua memang kuperintahkan untuk menghalangi siapa saja yang mencoba masuk ke desa ini. Tapi sungguh..., mereka tidak mengenalmu. Maaf sekali lagi atas sikap mereka, Rangga." Rangga hanya tersenyum saja. "Kedatangan kalian memang sangat ditunggu-tunggu. Bahkan... Hm.... Mungkin Baraka telah menceritakan semuanya yang terjadi di desa ini pada kalian. Sejak Baraka pergi, sudah dua kali mereka menyerang desa ini," kata Ki Gorapati sambil melangkah kembali menuju rumahnya.
Rangga dan Pandan Wangi menyejajarkan langkahnya di samping kanan kepala desa, sambil menuntun kudanya. Sementara dua puluh orang pemuda yang mendampingi Ki Gorapati mengikuti dari belakang. Ki Gorapati menceritakan keadaan yang ada di desanya sambil terus berjalan. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian.
"Maaf, Ki. Apakah selama ini dari pihak kerajaan tidak ada usaha untuk melenyapkan mereka...?" tanya Pandan Wangi, setelah mereka semua berada di beranda depan rumah Ki Gorapati.
"Keberadaan orang-orang Lembah Maut sama sekali tidak diketahui pihak kerajaan, Nini Pandan," sahut Ki Gorapati menjelaskan.
"Tidak ada yang melaporkan?"
Ki Gorapati hanya menggeleng saja.
"Sudah berapa lama mereka di sana?" tanya Rangga lagi.
"Entah sudah berapa tahun. Tapi sebelumnya mereka tidak pernah menjarah sampai ke desa. Biasanya, mereka hanya menghadang siapa saja yang lewat di jalan lembah itu. Entah kenapa, sekarang menjarah desa ini. Mungkin setelah enam purnama tidak ada lagi orang yang sudi lewat di jalan sana," kembali Ki Gorapati menjelaskan secara gamblang.
"Berapa jumlah mereka, Ki?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Tidak ada yang tahu, Nini. Biasanya, mereka selalu muncul sepuluh orang. Tapi belakangan ini, mereka muncul dengan jumlah lebih banyak. Dan setiap kemunculannya, jumlah itu tidak pernah kurang atau bertambah."
"Mereka hanya merampok saja, Ki?" tanya Rangga lagi.
"Mereka juga membunuh siapa saja tanpa kecuali. Bahkan juga orang tua dan anak-anak! Mereka bukan lagi manusia. Rangga. Tapi, iblis-iblis yang berujud manusia. Tindakan mereka sangat kejam, tidak kenal belas kasihan sedikit pun!"
"Kau tahu, siapa pemimpinnya, Ki?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Inilah yang membuatku, dan semua orang jadi bingung. Beberapa tahun yang lalu, sebelum gerombolan itu ada dan menguasai lembah, memang ada yang menghuni lembah itu. Dia adalah gadis yang juga sangat kejam seperti iblis. Semua orang menjulukinya sebagai si Perawan Lembah Maut. Hanya sekitar dua tahun Perawan Lembah Maut merajai lembah itu. Dan setelah satu tahun dia menghilang, gerombolan liar itu muncul. Tapi mereka juga selalu mengaku sebagai Prajurit Perawan Lembah Maut," jelas Ki Gorapati lagi, dengan gamblang.
"Mungkin gadis itu sekarang memang sudah punya pasukan, Ki," ujar Pandan Wangi agak menggumam suaranya.
"Entahlah, Nini. Mungkin juga...," desah Ki Gorapati perlahan.
Sesaat mereka terdiam.
"Rasanya, kita harus tahu dulu kekuatan mereka, Kakang," ujar Pandan Wangi seraya menatap Rangga yang duduk di sebelah kirinya.
"Ini yang sedang kupikirkan, Pandan," sahut Rangga pelan.
Kembali mereka terdiam membisu. Entah, apa yang ada dalam benak mereka masing-masing saat ini. Sementara, malam terus merayap semakin bertambah larut. Dan keadaan di Desa Paringgi ini semakin terasa sunyi. Malah serangga malam seperti enggan memperdengarkan suaranya. Hanya desir angin saja yang terdengar menggesek dedaunan.
![](https://img.wattpad.com/cover/219153885-288-k858869.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
104. Pendekar Rajawali Sakti : Perawan Lembah Maut
ActionSerial ke 104. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.