00: intro

939 72 13
                                    

Suatu malam, aku menemukan sekotak bekal makanan yang terikat kain biru tua bermotif kembang di atas meja di luar ruangan kerja, tanpa tahu siapa yang menaruh. Kain pembungkus dan kotak bekalnya terlihat mahal. Kemudian aku mulai berpikir bahwa itu ditujukan untuk Namjoon, bosku. Lantas aku pun menunjukkannya pada lelaki itu, tapi ia hanya berkata, "Oh. Kamu saja yang makan, biar tak sia-sia."

"Yang benar?"

"Iya."

"Tapi—"

Namjoon menyela, "Sudah makan saja!"

"Masa aku yang makan? Ini jelas-jelas untukmu, Hyung."

Kesibukannya sebagai seorang direktur membuat ia mesti berkutat dengan komputer, dokumen, dan telepon dari orang-orang penting selama berjam-jam (bahkan pada waktu makan siang) dan ia tidak sempat menaruh atensi pada kotak bekal yang diantarkan untuknya. Aku hampir sama dengannya, hanya saja aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk mobile, keluar-masuk ruang kerjanya, berjalan ke sana kemari untuk minta tanda tangan, menghadiri rapat dan mewakilkannya. Aku tak sadar ada kotak itu, bahkan sejak siang. Mungkin saja dia telah berada di sana sejak orang-orang keluar dari petaknya masing-masing untuk istirahat dan makan. Dia di sana, menunggu ada yang peduli. Ah, bodohnya aku. Seharusnya aku sadar lebih awal, sehingga Namjoon dapat memakannya dalam keadaan yang masih hangat.

"Aku tidak selera, mau minum kopi saja. Kau makanlah itu, aku akan ke kafetaria dulu sebentar, sambil cari Kepala Bagian Ma. Nanti aku kembali sekitar jam delapan."

"Tsk. Baik, baik."

Aku tak bisa banyak membantah. Meski gaya bicara kami cukup akrab seperti teman, dia tetaplah atasanku. Aku mesti lebih banyak menurut, walau kutahu urusan kotak bekal ini sama sekali tidak ada hubungan dengan pekerjaanku sebagai asistennya.

Ya, aku adalah asisten Namjoon. Dan hari itu adalah pertama kalinya aku memakan bekal makanan yang masih enak walau sudah dingin dan didiamkan lama. Tatanannya begitu cantik dan sederhana, tidak ada hiasan yang tidak perlu, dan karena itu pula aku berpikir kalau orang yang membuatnya tidak suka bertele-tele.

Aku pernah secara tidak sengaja mendengar bahwa Namjoon telah bertunangan. Dan, kupikir bekal makan ini dibuat oleh tunangannya itu untuk mengenyangkan Namjoon, dengan pesan tersirat, jangan mengabaikan rasa lapar, makanlah semua, sampai habis. Aku sedikit merasa tak enak hati, karena bagaimana pun, aku tak punya hak atas makanan ini. Tapi, apalah? Kau saja yang makan, itu yang Namjoon bilang.

Hei, Namjoon. Kalau memang tebakanku benar tentang siapa pembuat bekal ini, apa yang akan dia katakan kalau tahu bukan kau yang menghabiskan makanannya?

Lalu, ponselku berdering. Aku mengangkat telepon dengan tangan kiri sementara tangan kananku masih memegang sumpit.

"Jimin, kau bisa antarkan surat pengajuan dari divisi A, tidak? Aku lupa, ketinggalan di meja. Kuselipkan di map bening sebelah kanan, ya. Pak Ma sudah menunggu, aku tidak bisa bolak-balik."

Nasi dan lauk di mulutku belum sepenuhnya kukunyah. Namjoon menutup telepon itu sebelum aku sempat menjawab. Aku menoleh ke belakang, pada refleksi diriku di kaca jendela yang bening. Menembus bayang, aku tertuju pada lampu-lampu gedung dan kemacetan kota yang berkelap-kelip. Kemudian aku sedikit menengadah, dan kutemui gelap yang kebiruan. Malam itu, aku makan sambil berdiri, menghadap langit kota yang tak berbintang.

.

.

.

TBC to first chapter


this is my first collab with  YOURPOETRYLINE

thanks for the plot darling! 

Padahal aku ngomongnya mau kerjain yang mana, eh malah keluar duluan yang mana hahaha

panier repas [pjm x ksjx knj]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang