03: black and bold

529 57 11
                                    

Malam itu aku merasa seperti banci. Aku tidak pernah pakai contac lens omong-omong. Mana warnanya abu-abu pula. Rasanya aneh ketika ada benda sejenis jelly yang menempel di bola mataku. Aku memakainya karena sebuah alasan yang konyol; Namjoon bilang dia mau bergaya pakai kacamata dan dia menyuruhku untuk tidak menggunakan alat bantu lihat itu juga karena nanti kami seperti nerd buddy di pesta. Aku mengalah. Di rumahnya, aku didandani. Rambutku disisir-sisir begitu lama sampai aku ketiduran di kursi. Aku diberi satu setel jas lengkap dengan sepatu pantofel mengkilap. Dia bilang ini reward yang lain selain traktiran makan malam waktu itu. Namjoon kelewat senang gara-gara proyek barunya. Aku memang ambil porsi agak banyak di situ, tapi aku tidak merasa kalau aku mesti diberi reward seperti ini. Mana lagi, jas dan sepatu yang Namjoon beri bukan barang murahan.

Dia buang-buang uang gampang, ya?

Kulihat dia sedang berdiri di depan cermin, mengancingkan vest. Di belakangnya ada maid yang menyampirkan jas di lengan. Selesai Namjoon merapikan vest, dia dibantu oleh maid itu untuk mengenakan jasnya.

"Cocok yang mana kacamatanya?" Dia tanya aku.

"Yang gagangnya tipis."

"Yang ini?"

"Yes, Sir."

Namjoon mengenakan kacamatanya, lalu bergerak-gerak gelisah sambil memegang-megang rambut. "Aku stres, nggak percaya diri, nggak mau kelihatan bodoh."

"Karena itu kamu dandan serapi ini, Hyung? Ya boleh, sih, tapi kenapa ajak-ajak aku juga? Aku kan cuma asistenmu."

"Tapi kau kan datang denganku, jalan denganku di pesta itu. Aku nggak mau kamu kelihatan berantakan, kamu juga harus dandan yang rapi."

"Come on, kenapa harus aku? Bukankah kamu punya tunangan?"

Seketika raut wajahnya berubah. Sekilas, sorot matanya seperti menyiratkan kesal.

"Apa dia nggak datang ke acara itu?"

"Nope. Dia datang, kok."

"So what?"

"Dia datang. Bukan denganku. Tapi dengan temannya." Suaranya terdengar serak dan sedikit ditekan. "Katanya gara-gara aku terlambat mengajak, jadi dia sudah keburu ajak yang lain untuk gandengan. Ya, aku tahu Seokjin nggak suka datang ke pesta sendirian, tapi kenapa dia nggak mau menunggu sampai aku menghubunginya? Mentang-mentang kami punya undangan sendiri-sendiri."

"Kamu kesal banget, ya?"

"Iya, lah!" jawab Namjoon. Dia menyuruh dua maid-nya keluar, kemudian ia menyambar segelas air dan minum dua tegukan. Masih sambil memegang gelas itu, dia menaruh pantatnya di tepian meja rias. Namjoon menoleh ke bayangannya di cermin sambil berkata, "Kadang-kadang aku heran. Seokjin itu seperti nggak pernah mengerti kalau aku banyak urusan. Semestinya dia paham apa yang kupegang sekarang ini memang akan menyita banyak waktuku. Aku nggak bisa selalu baca pesannya atau angkat teleponnya, atau juga menghubunginya secara rutin. Aku di sini sibuk untuk mengejar mimpi, tapi bukannya mendukung, dia malah bersikap seperti itu. Apa yang bisa kulakukan untuk menghadapi dia yang kekanak-kanakan?"

Aku mengangguk lamban. Agak takjub juga melihat Namjoon berbicara cepat penuh semangat untuk curhat. Mungkin dia tak sadar, tapi sudahlah.

"Hyung, kupikir kamu hanya perlu memberinya pengertian."

"Pengertian apa! Kamu paham nggak sih kalau ini bukan urusan gampang!" sungutnya. Sesaat kemudian romannya berubah menyesal. "Maaf, Jim. Aku nggak bermaksud..."

"Iya, iya, nggak apa-apa. Aku paham, kok. Hubungan percintaan itu memang nggak ada yang gampang, pasti ada rumitnya."

"Jim, kamu nggak punya pacar memang?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

panier repas [pjm x ksjx knj]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang