02: tentang hal-hal sederhana yang juga bodoh

370 55 24
                                    


ps: klik media, dengerin lagunya selesai baca chapter ini. thanks!



.

.

.

Sudah tiga hari aku tak melihat Seokjin muncul di kantor. Bekal makan siang untuk Namjoon pun tak ada, begitu pula dengan pesan singkat atau apapun dari nomor ponselnya padaku. Namjoon tidak bicara apa-apa. Aku pun tidak berani bertanya, walau sebenarnya kepingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Bukannya mau ikut campur, aku hanya merasa tidak enak ke kedua belah pihak. Sehari-hari aku bekerja bersama Namjoon, dan Seokjin entah apa kabarnya.

"Jimin."

Namjoon menepuk pundakku dan aku kaget. Kulepaskan earphone yang menyumpal telinga seraya menoleh ke belakang di mana dia berdiri. Namjoon senyam-senyum, aku pun keheranan.

"Apa?"

"Proyek yang itu, tembus lho!"

"Serius?"

"Iya!" serunya. Dia tersenyum lebar sampai lesung pipinya menusuk ke dalam. Namjoon terlihat cerah dan sangat bahagia. Aku pun senang karena usaha kami membuahkan hasil yang bagus.

"Kapan kau akan bicarakan ini pada tim?"

"Besok pagi atau setelah jam makan siang. Sekarang sudah malam, sebagian besar sudah pulang."

"Ah, kamu benar."

Sudah jam delapan. Orang-orang yang masih tinggal di kantor hanya mereka yang masih punya tanggungan. Karena aku hampir setiap hari lembur, aku tak ingat lagi pada jam pulang kerja yang seharusnya.

"Makan, yuk?"

"Makan di mana?"

"Aku tahu satu restoran yang makanan dan anggurnya enak di Buam-dong. Kita ke sana ya? Aku yang traktir deh, hitung-hitung reward karena kamu sudah banyak membantuku dalam proyek ini."

"Wow, mood-mu sedang baik ya sampai kamu jadi dermawan begini."

"Dermawan apanya?"

Namjoon tertawa, aku juga. Kemudian dia menyuruhku untuk meninggalkan pekerjaan yang tersisa, karena itu bisa dilanjut besok. Oke, aku pun mematikan komputerku dan beres-beres meja. Namjoon memasukkan rokok, pemantik, dan beberapa lembar dokumennya ke dalama tas. Aku bilang padanya untuk tidak melupakan access card. Dia merogoh saku jasnya sambil cengingisan. Aku tahu tadinya dia mau meninggalkan jas itu di kursi tanpa ingat kalau di dalamnya ada kartu yang mesti dia bawa untuk keluar-masuk kantor.

"Ayo."

Baru saja dia bilang begitu, ponselnya berdering. Aku yang kebetulan berdiri tepat di hadapannya jadi sama-sama melihat pada layar ponsel yang digenggamnya itu. Ikon hijau menyala-nyala. Namjoon bengong sejenak, sebelum berdeham dan menerima panggilan.

"Jin, ada apa?"

*

Kami duduk bertiga. Namjoon bersebelahan dengan tunangannya, dan aku sendiri di depan mereka. Aku pura-pura tidak pernah bicara apa-apa pada Seokjin. Seokjin pun bersikap seperti itu. Jadi secara kebetulan (yang seolah-olah terencana) kami berkenalan dan berbasa-basi di hadapan Namjoon, kemudian bersulang bertiga.

Di meja kami ada makanan dan anggur yang telah tersaji. Namjoon merekomendasikan caramelle nere karena itu paling cocok dengan segelas Barbera d'Asti, jadi aku pesan dalam porsi kecil. Porsi besarnya pricy, dan aku tahu orang yang ditraktir tidak boleh kurang ajar, jadi sebisa mungkin aku hanya memesan apa yang oke bagi bosku. Lucunya apa yang kami pesan itu sama. Namjoon bilang karena dia orang yang monoton, kalau sudah cocok satu ya sudah satu saja. Sementara itu, Seokjin makan ratatouille. Entah kenapa ada feeling kalau dia bakal membicarakan itu di depanku.

panier repas [pjm x ksjx knj]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang