1 :: two sides

2.7K 225 2
                                        

Aksara dan Angkara itu seperti dua sisi koin yang berbeda, namun disatukan dengan nama Matthias.

***

Kicauan burung yang saling bersahutan terdengar nyaring. Awan-awan putih bergantian melintas menghiasi langit pagi. Seluruh siswa sudah mulai menjalankan kegiatan belajar mengajar di kelasnya mengingat bel masuk sudah berbunyi sedari tadi.

Di tengah suasana damai itu, seorang murid tengah berjalan di koridor sekolah sambil menenteng sebuah buku tebal di tangannya. Ketika murid lainnya sudah memulai pelajaran di kelas, Aksara malah baru selesai mencari buku di perpustakaan dan berniat kembali ke kelasnya, tentunya setelah mendapat teguran dari Bu Ida, si penjaga perpustakaan. Wanita itu memergoki Aksara yang diam-diam tengah berjongkok sembari mencari buku di pojok perpustakaan dan langsung memberinya wejangan panjang yang membuat telinganya panas.

Setelah Bu Ida selesai dengan ceramah paginya, Aksara pun disuruh untuk kembali ke ruang kelasnya. Dalam perjalanan menuju kelasnya, Aksara mengedarkan pandangannya sembari memperhatikan lapangan yang dipenuhi murid yang sedang mengikuti kelas olahraga. Sepertinya Aksara memang tidak takut-atau mungkin tidak peduli jika namanya dipanggil menggunakan speaker kalau ada guru yang melihatnya masih berkeliaran di koridor padahal jam belajar sudah dimulai.

"Coba lihat siapa yang pagi-pagi udah bersikap seenaknya."

Suara yang terdengar sinis itu membuat Aksara menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. Ia menatap seorang murid yang menggunakan seragam yang sama dengannya dengan sebuah ban berwarna biru dongker di sematkan di lengan kanannya.

"Pagi, ketua," Aksara menyapa dengan gestur sopan dan senyum bisnis miliknya. Dia tetap berdiri diam di tempatnya membiarkan orang yang menyindirnya itu berjalan mendekat.

"Aksara, aksara. Hebat ya dateng telat, bolos pelajaran, bikin jebakan untuk guru, gak pake dasi-" Julian, murid yang diangkat menjadi ketua kedisiplinan tahun ini mengabsen semua pelanggaran tata tertib yang sudah Aksara lakukan dengan raut tidak menyenangkan. Sedangkan Aksara masih tampak tenang, tidak terpancing dengan sindiran Julian.

"Lo gak ada niat keluar dari sekolah ini sebelum dikeluarin?" Julian bertanya dengan nada sinis. Dia menatap Aksara dari atas ke bawah dengan pandangan menggunjing.

"Mungkin karena sekolah masih butuh orang pinter kayak gue," balas Aksara santai dengan sebelah bibirnya terangkat keatas dan pandangan mencemooh. Well, terkadang Aksara bersyukur lahir dengan isi kepala yang encer.

"Huh, pinter. Dari segi mana?" Julian bertanya dengan nada menggunjing. Sedang Aksara diam-diam menghela nafas jengah karena jujur saja sekarang ia pegal dan buku yang dipinjamnya tadi membuat tangannya kebas karena ternyata bobotnya cukup berat. Pembicaraan dengan Julian tidak pernah memakan waktu sebentar.

"Gue heran kenapa ada keturunan Matthias yang sampah seperti lo," desis Julian sembari kembali mendekat satu langkah. Tangan laki-laki itu dilipat di depan dada dengan gestur angkuh.

"Haha, gue juga heran kenapa ada manusia kurang kerjaan kayak lo yang hobi ngurusin hidup orang. Lagi cari muka? Jangan cari disini, coba di tempat sampah siapa tahu ada. Sekalian otaknya jangan lupa."

Kedua manusia itu kini saling pandang dengan aura tidak mengenakkan. Aksara tahu bahwa perkataannya berhasil memancing emosi si ketua kedisiplinan dan itu membuatnya senang. Untung saja koridor sedang benar-benar sepi sehingga keduanya tidak menjadi tontonan gratis.

"Anak yang gak pernah diharapkan orang tuanya bisa juga banyak omong. Ck, dasar gak punya etika. Gue denger bokap lo pengen gugurin lo pas masih dikandungan ya?" kata Julian retoris.

Aksara Untuk KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang