~1~

7.2K 462 12
                                    

Penelope mengetuk-ngetuk ketiga jari kanannya bergantian secara cepat di atas meja rias sembari memandang lama kertas kosong depan mata, seakan menunggu waktu di mana pena stilograf berujung jarum kering sehingga harus diisi kembali dengan tinta melalui pipet. "Pennie, Pennie, ayolah...keluarkan imajinasimu, cerita-cerita khayalan dalam otakmu. Penelope Pewton, berkreasilah," katanya pada sendiri.

Penelope terus memelototi kekosongan kertas itu sedari tadi. Ayolah, Pennie. Sisa waktumu hanya satu jam lagi karena cerita ini harus dikirim secepatnya. Pembaca-pembaca setiamu sedang menantikannya, batinnya. Jari-jari kanannya mengetuk semakin cepat dan lincah, yang selalu dilakukannya bila merasa cemas. "Cerita apa yang harus kutulis hari ini?" tanyanya benar-benar bingung kepada dirinya sendiri. "Di manakah kalian para Muse?" tanyanya lagi sambil mendongak memandang udara kosong, seakan-akan mencari kelompok dewi yang sangat lekat dengan kesenian itu, yang dapat memberinya inspirasi dalam menulis.

Akan tetapi, sepertinya para Muse tak membantunya karena Penelope tak merasakan indra-indra imajinasinya bekerja sedikit pun. Dalam keheningan yang begitu lama, mata Penelope akhirnya mulai bergerak menjelajahi setiap inci kamar tidur, tatapannya berpindah ke segala arah seakan ingin menemukan sang inspirasi yang sedang bersembunyi. Dengan sekejap, matanya kembali ke atas meja rias karena tanpa sengaja sebuah kilauan merah berhasil menarik pandangannya, yang ternyata adalah sebuah liontin rubi merah di dalam kotak perhiasannya yang terbuka. Penelope langsung mengambilnya. "Benda ini...."

Penelope ingat bagaimana dia bisa menjadi pemilik liontin itu. Kalung rubi merah berharga tersebut diberikan oleh mendiang Marquess White ke-enam kepadanya sewaktu kecil, yang sebenarnya merupakan sebuah simbol yang berhubungan dengan dirinya; sebuah tanda yang menandakan bahwa dirinya pasti akan menjadi bagian dari keluarga marquess tersebut karena telah bertunangan dengan anak lelaki pria itu, Ross White, yang merupakan calon Marquess White ke-tujuh.

Penelope ingat sewaktu kecil, saat anak lelaki itu pergi begitu saja dengan sikap tak acuh sewaktu diajak bermain olehnya, yang akhirnya membuat Penelope Kecil merasa tunangannya itu angkuh dan sombong. Di matanya, lord kecil itu sepertinya tak menyukai pertunangan yang sudah diatur oleh ayah mereka berdua. Namun, bukankah hal itu bukanlah salahnya? Bila ayahnya dan ayah anak itu yang merupakan sahabat baik ingin memperat persahabatan dengan hubungan lebih bermakna.

"Seandainya saja pertunangan itu tak pernah terjadi," cetus Penelope yang merasa hal itu sekarang tak memiliki satu pun efek positif kepadanya. "Aku tak akan kering-kerontang seperti bunga layu yang tak pernah mekar di musim semi seperti ini," ucapnya sinis kepada alur kehidupannya sendiri karena pertunangannya benar-benar membuat ruang lingkupnya terbatas. Dirinya tidak sebebas lady-lady lain yang baru memulai debut mereka. Aksesnya dalam berinteraksi dengan orang lain terutama lawan jenis sangat sempit. Stempel tak terlihat pada dahinya yang menyatakan bahwa, 'lady ini adalah milik keluarga White' membuat para lord lain atau bujangan menarik lainnya tak ada yang berani mendekat.

Bagaimana bisa dia merasakan indahnya cerita cinta di masa muda yang penuh semangat dan menarik bila hidupnya seperti ini? Sementara yang dilakukannya selama ini hanyalah membuang waktu percuma tanpa pernah merasakan romansa pada urat nadinya. Padahal Penelope selalu membayangkan kisah cintanya yang sama uniknya, sama indahnya, dan sama menariknya, seperti cerita-cerita romansa yang pernah dibacanya ataupun yang ditulisnya. Bagaimana bisa dia merasakan semua itu? Sedangkan satu-satunya pria yang tersedia untuknya saat ini hanyalah tunangannya itu—yang tak pernah dilihatnya selama tujuh belas tahun ini. Bagaimana bisa dia mencintai seorang pria yang tak pernah ditemuinya?

Berbelasan tahun ini, tunangannya itu tak berada di London. Lord itu menghabiskan waktunya menjelajah dunia, seakan ingin melenyapkan masa mudanya dengan memutari semua negara yang berada dalam peta. Tiga tahun lalu pria itu kembali ke London karena ayah pria itu meninggal, yang membuatnya harus menanggung gelar marquess selanjutnya sehingga tidak bisa berpetualang seenak hati lagi. Dan selama tiga tahun ini, pria itu tak pernah sekali pun memunculkan diri di hadapannya.

Sebenarnya Penelope tidak keberatan dengan ketidakhadiran pria itu karena ia juga tak mengharapkan kedatangan lord itu yang tidak pernah ada dalam hatinya. Akan tetapi, ayah dan kerabatnya yang lain selalu mendorongnya untuk mengunjungi tunangannya itu terlebih dahulu, tetapi Penelope tak mau karena bila melakukan hal tersebut, dia merasa sedang merendahkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, Penelope memutuskan untuk; tidak akan pernah menemui pria itu, sebelum ditemui lebih dulu.

Penelope mulai membayangkan bagaimana pertemuannya nanti dengan lord itu lalu tersenyum geli saat mengkhayalkan pertemuan tersebut malah terjadi pada hari pernikahan mereka, yang membuat kedua mempelai akhirnya bertemu lagi setelah sekian tahun. Penelope memperhatikan lagi liontin di tangan kemudian teringat cerita lain tentang rubi merah itu. Ayahnya pernah memberitahunya bahwa liontin tersebut merupakan sebuah barang rampasan perang yang didapatkan oleh kakek tunangannya sewaktu mengikuti Perang Kooshab atau yang dikenal dengan nama Perang Inggris-Persia karena Britania Raya saat itu menentang Persia mengambil kembali kota Herat di tahun 1856-1857. Baiklah, batin Penelope yang akhirnya sudah memutuskan bahwa dirinya akan menulis sesuatu tentang liontin tersebut.

Love at  Second Sight  in London 1888 [HAI SnackStory/End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang