Darah Ibuku Bukan Minyak Neraka

127 6 5
                                    


“Nak... tolong nak..!!” suara seorang perempuan dengan tangisannya mulai menerorku. Itu suara siapa ?, apakah ada orang disekitar sini ?. Aku sebenarnya sangat membutuhkan pertolongan, tapi kenapa ada yang meminta tolong padaku ?. Mungkin ia juga tersesat di rimba ini.
“Nak.. tolong...!” rintihan itu terdengar jelas di telingaku. Mungkin dia lebih membutuhkan pertolonganku.
Alaah...  Kalau aku menolongnya belum tentu aku selamat.
Sepasang kakiku melangkah kencang meninggalkan pepohonan itu berharap menemukan jejak-jejak temanku.
Ah... sial. Sebatang duri panjang menembus sepatuku. Untung saja duri itu berkoloni dengan kawan-kawan serantingnya, sehingga mudah tercabut tanpa melepas sepatu.
“Ardi.. Putra.. Wimba...!!!”, tenggorokanku mulai kering, sebaiknya aku tidak berteriak. Bekalku hanya setengah botol tanggung air mineral dan beberapa potong roti. Mungkin hanya nama yang akan mewakiliku pulang. Aah.. kalau aku menghayal terus, kapan aku bisa menemukan jalan keluar.
“Tolong nak..!”,
Seketika itu semua bulu ditubuhku berdiri. Kenapa suara itu masih   terdengar ?, mungkin ia mengikutiku. Leherku berputar 180 derajat, sesosok pun tidak ada yang kulihat. Kalau memang ia membutuhkan pertolonganku mengapa harus bersembunyi ?.
“ Setan... elu Setan, elu pikir gue takut..!!”. Umpatku menantang. Aku melanjutkan perjalanan sambil tertatih. Shit.. pikiranku tak karuan, ransel yang tergendong pundakku menambah beratnya beban.
“Nak tolong Mama nak..!”.
Suara itu semakin jelas, semakin mencekam. Aku mengenal suara ini, suara ini akrab dengan telingaku. Mungkin saja setan itu menirukan suara mama. Tanpa menoleh ke belakang. Mataku fokus mengarah jam 12, sesekali aku mengarah jam 3 dan jam 9 memastikan menemukan jejak para bedebah yang tak memiliki kesabaran.
Huh.. Nafasku terengah-engah. Sedikit melegakan aku berdiri di jalan setapak. Tapi aku bingung harus ke selatan atat ke utara. Lebih bingungnya lagi, aku tak tahu mana selatan mana utara. Kenapa penyesalan mendatangiku sekarang, seandainya aku senang berpramuka pasti aku tau harus jalan kemana.  Aku duduk sambil meluruskan lutut. Dengan terpaksa aku harus meneguk dua tegukan air, memastikan ajalku masih lama. Hemat... hemat... hemat.. kalimat yang menggentayangi benakku.
“Nak tolong mama nak..!”. Suara itu semakin jelas dengan tangisannya, aku penasaran, aku mencoba menggeledah suara itu sambil mengikuti jalan setapak. Entah semakin jauh ataukah semakin dekat jarakku dengan teman-teman lainnya. Aku sudah pasrah. Walaupun nanti ujungnya buruk, ini bukan salahku, ini salah para bedebah yang akrab denganku di pondok. Pondok gagal mendidik mereka prihal kesabaran. Hanya menungguku ketika aku melepaskan mahluk yang pernah ku makan pun mereka tak becus. Entah mereka memikirkan aku atau tidak. Atau mungkin ini salah orangtuaku, mereka memberikanku izin untuk menaklukkan Rinjani, walaupun aku sendiri yang bersikeras memintanya.
Matahari semakin merendah, aku belum menunaikan Asharku. Selama berjalan sendiri mataku belum merasakan nikmatnya memandang tetesan air selain air mineral yang ku bawa. Ternyata jalan setapak ini mengantarku sampai sebuah kolam. Ransel ku lepaskan dari pundakku, begitu juga dengan sepatu dan kain yang membungkus kaki. Bau menyengat bersumber dari kain itu. Memang sial kaos berdaki.
+++
Perasaanku mulai tenang ketika telapak kaki kiri tertindih betis kananku. Angin sepoi-sepoi menyapa lembut wajahku. Butiran-butiran air wudlu pada wajahku perlahan-lahan merayap turun tertarik gravitasi.
Tempat ini sunyi, seram, hanya terdengar benturan-benturan dedaunan yang terdorong angin. Beberapa menit lagi masuk waktu Magrib. Bibirku tersungging, mudah-mudahan aku mendengar suara azan. Tumpukan sampah anorganik memutuskanku untuk diam disini. Pasti banyak orang yang mendatangi tempat ini. 
Kretak... kretak.. kretak..
Lahapnya api memakan kayu yang sudah ku kumpulkan membelah gelap dikawasan sekitar. Malam semakin larut, tidak ada sama sekali suara azan, menandakan posisiku masih jauh dengan permukiman. Aku segera memperbaharui wudlu dan menunaikan Magrib.
Untuk pertamakali aku berdoa khusuk. Hawa dingin menusuk tebalnya jaket tidak mengurangi kefokusanku. Aku yakin dengan apa yang telah aku hapalkan. Tuhan tidak membebani hambanya dengan beban yang tidak ia sanggupi. Setiap ada kesusahan pasti ada kemudahan. Aku yakin dengan itu. Mudah-mudahan ada yang terjadi malam ini, supaya aku bisa bercerita kalau aku pulang nanti. Ha ha ha... Konyol, ini bukan masalah biasa Andi. Entah kenapa hatiku terpecah menjadi pro dan kontra. Mungkinkah aku sudah stres ?. Anehnya lagi diantara pro dan kontra, ternyata ada pihak netral yang menambah kacaunya pikiranku.
Lambungku memberontak meminta penghuni. Untuk malam ini aku hanya mengisinya dengan sepotong roti dan beberapa tegukan beningnya air kolam. Aku berusaha meneguk sebanyak-banyaknya agar lambungku terisi.
“Andi... tolong mama nak..!”
Lagi-lagi suara itu, mengusir laparku. Aku lupa ternyata Tuhan mengabulkan doa konyolku sebelum aku meminta. Penasaran mulai merasuki jiwaku. Aku yakin suaranya bersumber tidak jauh dariku. Aku berdoa supaya Yang Maha Memudahkan, memudahkan apa yang ku anggap susah.
Aku mengambil senter didalam ransel. Apapun yang terjadi padaku nanti, pasti sudah ditakdirkan. Senterku menerobos gelapnya malam. Tanganku lincah mengayunkan senter ke segala penjuru. Terutama atas, bukan menyenter bintang. Berharap ada yang melihat panjangnya sinar senter mengarah langit.
Huaaa... Spontan aku berteriak kaget ketika melihat kain-kain putih tergantung diatas lekukan tSherli yang tak sengaja menjadi objek senterku.. Kain itu berwarna-warni, tidak sedikit, bisa terbilang banyak, bergelantungan seperti film horor. Hanya sekedar kain yang diatasnya tersimpul di akar-akar pepohonan. Tak perlu ditakuti.
Di samping gelantungan-gelantungan kain. Sebuah lubang seperti gua berada di atas bebatuan besar dan terlihat licin.
“Andi... Andi...!”
Tangisannya semakin keras ketika aku berdiri di mulut goa yang tingginya hampir sepadan denganku dan agak melebar.
“Assalamualaikoom.. ada orang di dalam ?, oh ya bukan orang, ada setan di dalam ?”. Suaraku menggema di mulut goa
Sepi
Leherku memasukkan kepalanya kedalam mulut goa. Sinar senter mengarah kerongkongannya. Aku melihat sebuah garis cahaya seperti api melintang dilantai kerongkongan goa. Dengan modal nekat dan didorongi penasaran badanku memasuki mulut goa. Reflek mendekati cahaya garis itu.
Hanya sekedar parit kecil. Tapi, airnya berwarna merah kental menyala, menjadikan tanah disekitarnya terlihat bercahaya. Ini bukan air biasa, ini bukan darah. Darah tidak menyala.
Aww shit... tanganku terasa panas, setelah menadahkannya di atas cairan aneh itu.
Larva. Ya ini larva.. otakku dipenuhi kata “LARVA”. Ini goa aneh, mungkin setan-setan itu bersarang disini.
“Andi.. tolong mama nak...!!!”
Aku yakin suara itu bersumber dari arah jam 12, tepat didepan. Aku tak takut, hal ini sudah biasa dikehidupanku.
Hiak
Pahaku terasa panas ketika melompati parit kecil itu. Lumayan menghangatkan organ yang kambuh kegatalan.
Entah berapa meter kakiku melangkah. Untung senter ini bersahabat, membantuku menenangkan penasaran. Tepat arah jam 12 aku melihat cahaya yang sama. Tapi cahaya ini lebih terang. Cahaya itu bergerak-gerak. Pasti di depan ada lautan lahar.
Semakin aku mendekat, suhu derajat semakin meninggi.
Anjir..
Benar saja, mataku melihat kolam lahar yang mendidih. Ditengahnya semacam pulau yang dikelilingi dengan lahar. Aku melihat sosok perempuan berambut tergerai kusut. Seluruh badannya penuh dengan lilitan tambang.
“Nak tolong mama nak..!”
Usahaku tak sia-sia, memang benar suara yang menerorku datangnya dari sini. Tapi kenapa aku dapat mendengarnya dari ribuan meter. Aku akui kehebatan setan yang menyamar menjadi ibuku.
“Ini mama nak... tolong mama..!”
Tangisannya semakin menjadi-jadi. Aku memukul rahangku dengan senter yang kupegang.
Bruk..
Mungkin sel saraf rahangku sudah mati, terbiasa dengan pukulan semacam ini walaupun rahangku sedikit terasa bergeser.
Jarakku semakin dekat dengan pulau kecil itu. Melewati jalan setapak seperti jambatan. Kanan-kiriku lahar yang meletup-letup, seolah-olah menunggu badanku.
“Nak bantu mama nak...!”
Seketika itu badanku menggigil bergemetar dahsyat. Aku tak percaya hal ini terjadi. Semua pakaian mama tergeletak di atas tanah tepat disampingnya. Semua badannya terlilit tambang. Hanya betis, leher dan kepala yang bisa aku lihat.
“Tangisan mama membuat darahku macet tak normal. Semua badanku terasa kesemutan. Entah apa yang terjadi di kehidupanku. Hatiku lebur, hancur, melihat raut wajah mama yang terlihat sangat-sangat kelelahan. Ia terus meminta tolong padaku.
Aku tidak menemukan ujung simpul tali tambang yang melilit tubuh mama. Tali itu semakin waktu, perlahan-lahan mengecilkan lingkarannya, meremas tubuh mama.
Mama ........... Aku berteriak sekencang mungkin..
“Andi... Andi... Andi.. Antum kenapa Andi..”
“Wee bangun cuuk.. “
Nafasku terengah-engah. Ternyata semua itu mimpi. Aku melihat teman-teman sekamar mengelilingiku. Seharusnya kami bangun setengah jam lagi. Tapi mereka terbangun satu jam lebih awal karena mendengar ngigauanku  yang tak wajar ketika aku didalam alam bawah sadar.
“Antum mimpi apa Andi?”, tanya Taufiq teman sekamarku. “Liat teman-teman sekamar nggak bisa tidur gara-gara Antum”, lanjutnya.
“Mama... Mama..”. Aku hanya mengucap kata itu.
“Ya udah lah.. sekarang antum ambil air wudlu aja. Mumpung Bulan Sya’ban banyak-banyak doa untuk almarhumah Mama antum.” Nasihat Ardi sambil menepuk-nepuk bahuku.
Walaupun aku sudah hampir tiga tahun mondok, untuk pertamakalinya aku bangun sepagi ini. Setiap rayon masih terlihat sepi, Setiap kamar belum menghidupkan lampunya. Hawa dingin tidak mengurungkan niatku untuk menyentuh air. Mimipiku masih terasa sangat nyata dibenakku. Apakah mimpu itu membawa pesan?. Mungkin hanya sekedar mimpi. Tapi, ingatanku kuat mengingat kronologi kejadiannya. Aku yakin pasti mimpi itu memiliki makna.
+++
Aku mencatat dan menceritakan peristiwa semalam. Hilmi, sahabat terbaikku sekaligus adik kelasku merelakan waktu istirahatnya dengan mendengar ceritaku. Ia memberiku saran untuk menelpon keluarga dirumah setelah makan siang nanti.  Ya, ia benar, aku sudah lama tidak berinteraksi dengan keluargaku.
Aku dengan Hilmi memang menjalin persahabatan semenjak kecil. Dari TK yang sama, SD yang sama, SMP yang sama, sampai sekarang ini, walaupun berbeda kelas.
+++
Tiit... tiiit.. Maaf nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi cobalah beberapa saat lagi..
Berkali-kali aku mendengar kalimat itu. Kalimat yang paling kami benci sebagai santri. Nomor bapak tak nyambung-nyambung. Perasaaku semakin kacau, entah apa yang sedang dan akan terjadi padaku.
“Udah.. doakan yang terbaik aja!, jangan terlalu dipikirin”. Hilmi mencoba menenangkan ku. “Coba meh.. Saya yang telpon keluarga saya!”. Aku menyodorkan Handphone tulalit milik pondok yang ada di genggamanku. Rumahku dengan rumah Hilmi masih satu komplek. Kalau memang ada yang terjadi dengan keluargaku pasti Orangtuanya tahu juga, karena kami juga masih terikat keluarga.
“Halo.. Assalamualaikum inaq ..!” Sapa Hilmi mengawali pembicaraan. Entah apa yang ia bicarakan dengan Ibunya. Aku menjauh takut mendengar sesuatu yang tidak meng-enak-kan.
Setelah selesai menelpon, Hilmi mendekatiku. “Andi.. keluarga antum baik-baik saja, tidak ada masalah, tenang saja”. Aku mulai sedikit lega mendengar kalimat Hilmi. Tapi kenapa terlintas dipikiranku kata PULANG. Ya.. aku bisa menjadikan alasan ini supaya aku bisa pulang.
“Mi.. Gimana kalau aku pulang aja?”
“Pulang ? pulang ngapain ?”
“Ya.. pulang dah, mau ceritain mimpi tuu ”
“Antum yakin dikasi izin pulang dengan alasan itu?”
“Ya.. yakin aja “
“Terserah antum dah !”
“Nanti sore setelah program tahfiz  temani aku izin ya!”
“In Syaa Allah”
+++
Asharku jauh dari kata khusyuk, pikiranku hanya tertuju pada rencana yang telah matang. Segudang kalimat kupersiapkan untuk membantuku meminta izin pulang.
Selepas membaca al-ma’tsurot sebagai zikir petang. Seperti biasa aku dan beberapa teman lainnya duduk setengah lingkar di masjid ponpes. Program tahfiz berjalan seperti semula, aku berusaha sefokus mungkin menyiapkan setoran hafalan baru sore ini. Walaupun pikiranku terpecah belah, bagaimanapun caranya aku harus bisa menyetor hafalanku sore ini.
Teeng...
Lonceng satu berbunyi menandakan pukul lima sore. Kami berdoa karena waktu halaqoh tahfizul quran selesai. Seusai berdoa semua teman halaqohku bersalaman dengan ustadz. Aku sengaja mengambil antrian paling belakang bersama Hilmi.
“Assalamualaikum ustadz..”
“Waalaikumussalam warohmatullah.. Yaa ada apa Andi? ” Tanya ustadz. Yap rencanaku berjalan lancar.
“Begini ustadz, tadi malem tiang  bermimpi buruk tentang al-marhumah mama tiang ustadz. Jadi, tiang mau minta izin pulang ustadz..” Izinku sedikit terbata-bata.
“Apa hubungannya mimpimu dengan pulang ?” Kata ustadz membuyarkan semua rencana. Aku tak tau mau jawab apa. Aku hanya terdiam.
“Tiang mau ceritakan sama bapak ustadz “ Jawabku reflek
“Nih telpon bapak antum !, besok jumat suruh kesini, cerita besok pas bapak antum datang kesini!” Sambut ustadz sambil memberiku Handphone-nya.
“Kamu jangan pulang !. Kalau memang mimpimu itu adalah hidayah, udah doakan aja Mama antum, apalagi sekarang bulan yang mulia, tak perlu antum pulang, nanti pelajaran antum di pondok terganggu.” Nasihat ustadz kembali membuat hatiku hancur.
Jam 9 malam. Kami menyantap makan malam. Walaupun menu malam ini paling disukai semua santri, aku tak berselera. Mungkin karena perkataan ustadz yang membuat hatiku sedikit mengeras. Seperti biasa aku dan Taufiq menjalankan rutinitas gelap kami. Kami keluar malam tanpa izin dan membeli sesuatu yang mungkin tak wajar bagi seseorang yang berderajat santri. Tapi hanya inilah sesuatu yang paling manjur menenangkan kegalauan. Walaupun berkali-kali kami ketahuan, bagaimanapun caranya memberhentikan seorang pecandu sangat-sangat sulit sebelum kata berhenti ada pada hati sang pecandu.
Sial.. Kami kembali tertangkap basah di warung. Qismul Amni  mengikuti kami dari belakang. Nasi telah menjadi bubur. Ia membawa kami kembali kepondok. Semua santri dikumpulkan dilapangan. Entah berapa lama Ustadz berceramah, ditengah ceramahannya sebilah bambu yang ia pegang hampir memotong betisku, begitu juga dengan Taufiq sehingga patah dibetisnya. Tak puas dengan itu ustadz berusaha memecahkan pipiku dengan telapak tangannya. Ganasnya ustadz tak kami sangka seperti itu. Ia terus menghujam genggamannya berkali-kali sampai diatas batas normal.
Wajahku hampir penuh dengan memar. Betis, paha dan punggungku melintang garis merah bahkan membiru yang entah berapa banyaknya. Tumben aku merasakan hukuman seperti ini, walaupun setiap minggu aku rutin mendapat rotan.
+++
Dua hari setelahnya aku menerima sebuah amplop yang tertata  rapi dari Sherli. Seorang santriwati yang menjadi buah bibir para Thullab . Aku tersenyum melihat lembaran yang tertulis indah.

Assalamu’alaikum wr,wb.
Habibi..
Maafkan lembaran ini yang tidak bersalah.
Maafkan tinta ini yang tak pernah bernSherli
Maafkan hati ini yang telah berdarah

Aku tak bisa terlalu sabar
Melihatmu menjadi pelanggar
Sudah sekian kali
Tapi engkau tak peduli

Kapankah kau sadar
Sementara aku hanya bisa bersabar
Ini hasil istiharohku
Menghentikan dua tahun yang lalu

Aku harap kau kembali
Sadar dan tak mengulangi
Aku luka  jika terus kau begitu
Tak peduli dengan kata-kataku

Janjimu engkau kan berubah
Namun sayang terlanggar sudah
Engkau selalu minta kesempatan
Berkali-kali kau terlantarkan

Sungguh sampai disini
Air mataku turut mengiringi
Namun takdir ternyata begini

Yang kau panggil HABIBATI,
Sherly

Hancur, lebur. Aku telah kehilangan seorang motivator handalku, seorang yang kukagumi, seorang yang sangat berarti dihidupku. Aku tak tau mau balas apa. Ia sangat kucintai. Aku tak bisa kehilangannya. Ini tak boleh terjadi. Memang sudah menjadi rutinitas Sherli mengirim surat kalau aku bermasalah. Tapi dua tahun lamanya haruskah terhempas disini ?.
Ditengah keheningan malam, aku menyendiri, tak ada yang tahu aku dimana. Dan seperti biasa, kalau aku dilanda kegalauan aku terpaksa harus melakukan hal itu lagi. Tapi kali ini aku sendiri, tak mau bersama teman. Pikiranku fokus dengan kata-kata yang akan membalas surat Sherli.

Waalikumussalam wr, wb.
Habibati...
Izinkan aku memanggilmu
Lebih lama dengan kata itu

Aku tak mau
Hati kita tak lagi menyatu
Percayalah
Aku pasti kan berubah

Jika kita tak saling mengerti
Entah apa yang akan terjadi
Pada diriku yang tak tahu diri

Aku mohon
Bantu aku berubah
Semua itu tertakdir sudah
Aku yakin dengan dirimu yang jamilah

Mahluk yang mengagumimu,
Andi

+++
Nasibku sial. Surat yang kukirim beberapa hari yang lalu nyasar ke pengasuh asrama. Harga diriku hilang dipermalukan didepan semua santri, termasuk Sherli. Tak ada harapan lagi untuk bersatu. Namaku dan namanya ternoda hitam pekat. Rambut yang ku pelihara, hilang. Seluruh badanku terselimuti memar.
Untung saja aku tak dikeluarkan dari pondok pesantren. Karena pertimbangan prestasiku yang lumayan membantu. Tapi tetap masalahnya dengan harga diriku.
Peristiwa itu benar-benar menyadarkanku. Sekian lama aku terjerumus dosa, kenapa aku menyadarinya sekarang. Aku teringat dengan mimipiku. Memang benar. Mama sedang dalam keadaan tidak menyenangkan disana. Hal itu membuatku semakin sadar. Aku pasti bisa berubah 180 derajat. Tidak ada yang tidak mungkin jika aku mau.
Tepat 27 Ramadhan, aku kembali bermimpi tentang mama. Aku melihatnya duduk diatas singgasana dengan mahkota yang menyilaukan mataku. Tepat disamping singgasananya terdapat sebuah singgasana dan sebuah mahkota yang sama dan entah siapa pemiliknya.

Darah Ibuku Bukan Minyak Neraka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang