Remang-remang, ruangan itu lengang.
Sekat-sekat pintu enggan dibuka dari awal pertemuan paling singkat.
Teriakkan ironi memekak keluar pada telinga yang mencipta gamang.
Lantas hilang, diikuti bibir kelu sedang lidah tercekat.Aku dibanting begitu melewati batas-batas kewajaran.
Kakiku diikat sulur-sulur kuat yang bahkan enggan melihat.
Pipiku lekas basah dengan tangis yang kian pecah.
Aku didorong menuju tepi-tepi mimpi yang semakin menjadi-jadi.
Aku bertaruh lelah, dan kamu menjamu kalah.Sampan yang dikayuh semakin berlabuh jauh
Sampai pada angan yang hanya bayangan
Mencipta lelah agar sanubari menarik jeda
Bergradasi bersama kosong tak berlorong
Yang menyeret keheningan dalam kematianTanganku menyulam, jiwaku tersulam
Titik-titik kewarasan mendorongku kepada inti kepuasan
Napas yang terajut kian lepas dari genggam yang kini merenggang.
Hari-hariku mati disertai langkah yang memelan kepada jalan
Riuh terasa mencekam di dalam dada ingatan
Aku mati, aku tenggelam.
Tanpa nadi, hanya api yang kian padam.Dalam jatuh, aku memangku semangat yang ternyata telah luruh.
Dalam keruh, bangkit terasa begitu sakit untuk ditarik.
Kini, aku adalah empu jalan remang yang ternyata mampu kubuat terang.
Dengan sekali niat, aku tahu ada cahaya yang mampu kubuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekap
PoetryKilasan puisi ini hadir dari hati-hati yang kebas. Dengan jemari reyot, dan diksi meranggas. Silakan masuk, ada jiwa yang meminta bebas.