Kota Cirebon tak mendung namun hujan. Sore yang cerah. Sisi kamar dengan warna cat yang tak berubah, aku duduk menghadap laptop. Kedua mataku fokus mengikuti tulisan yang baru saja diketik. Bibirku bergerak membaca setiap kata pada buku di sampingku. Orang-orang memanggilku Nuha. Aku dikenal sebagai gadis yang manis dan menyukai segala hal yang manis. Sebagian besar waktu ku habiskan di dalam kamar, untuk menulis. Saat itu menulis adalah sesuatu yang ku hindari, hasil pengamatan, laporan praktikum, dan jurnal. Setiap kali sampai pada kata-kata cinta, hatiku berdesir. Namun jika aku sampai pada kata-kata lelaki, aku sulit mencari definisinya. Sinar terik dari matahari terasa bagai merambat sekujur hatiku. Aku merasakan kegundahan dan keheningan. Aku bagai menghirup udara malam, sesak.
Tatkala sampai pada kalimat, aku memikirkan,
Sejak saat itu
Rasaku berubah
Dan aku mulai mencintainyaHatiku bertanya-tanya. Apakah aku termasuk orang yang mendapatkan cintanya? Ataukah orang yang mengabaikan cintanya? Kata-kata itu ku ulang. Hatiku semakin rumit. Pikiranku tak berujung.
***
Sementara itu, di sebrang kota tampak sebuah toko. Tulisan-tulisan yang berwarna dari kejauhan tampak menghiasi bagai bunga-bunga di sekelilingnya. Toko itu milik seorang lelaki dermawan yang memiliki pekerjaan utama sebagai pengajar di salah satu madrasah di dekat kota.Salah satu ruangannya, tampak seorang lelaki tampan sedang melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Wajahnya yang coklat tampak terang terkena sinar yang terpancar dari balik tirai ruangan itu. Lelaki itu membaca Surat Al-Baqarah ayat 221 sambil menyerukan setengah maknanya,
“Dan janganlah kamu menikahi wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. ...”***
Keesokan harinya. Usai solat dhuha, aku meninggalkan kamar menuju ke luar rumah. Aku handak menjenguk temanku yang sakit. Aku berjalan pergi menaiki sepeda. Aku sempatkan ke apotek sebentar untuk membeli madu.Aku berjalan melewati rumah-rumah dan sekolah. Aku terus mengayuh sepedaku melewati sekolah itu. Namun di tengah perjalanan ban sepedaku tak sengaja menabrak batu besar,
'Bruk'.Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat bayangan. Ia terus berjalan mendekat ke arahku. Mataku lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang manaiki motor. Lalu lirih telingaku menangkap suara,
“Assalamualaikum”
Suara itu datang dari orang yang berada tidak cukup dekat di depanku. Ia menghentikan sepeda motornya. orang itu semakin jelas.
“Kau tidak apa-apa?,”
Suara semakin jelas terdengar. Suara seorang lelaki. Mataku jelas menangkap lelaki itu.
“Waalaikumussalam jawabku.
“Kau tidak apa-apa?Kembali mendengar pertanyaan lelaki itu, aku terkejut. Sementara sepedaku terlihat ada yang rusak. Cepat-cepat aku menenangkan diri dan berdiri perlahan sambil mengangkat sepeda. Tatkala sepeda mulai terangkat lelaki itu mencoba membantu mengangkatnya dan aku mulai berbicara.
“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja sepedaku perlu diperbaiki. Mungkin karena menabrak batu terlalu keras.”
“Syukurlah kalau begitu.
Dua mata dibalik niqabku tak sengaja menatap wajah lelaki itu. Menyadari hal itu lelaki tadi menundukkan pandangan ke tanah. Aku pun memalingkan wajahku.
“Mas, terima kasih atas pertolongannya.”Adnan mengangkat mukanya. Tak sengaja matanya melihat pandanganku. Hatiku tiba-tiba berdesir. Ini mungkin bukan pertama kalinya aku tak sengaja menatap wajah seorang lelaki, namun hari ini aku menatap dari jarak yang cukup dekat. Aku terpesona seketika lelaki itu saat menundukkan pandangannya, sementara ada gemuruh di hati Adnan. Aku tersenyum di balik niqabku, Adnan tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya.
“Astaghfirullah. Lirih hati Adnan.
“Namaku Adnan, aku tadi melihat dari kejauhan seperti ada yang terjatuh, dan ternyata benar.”
“Jadi, kaukah Adnan anak dari pemilik toko yang dermawan itu?,”
“Tak tahulah, itu mungkin Adnan yang lain,” Kata Adnan sambil membalikkan badan, ia kemudian melangkah.
“Tunggu dulu mas.”
Tiba-tiba lelaki itu menghentikan langkahnya dan berdiri di hadapanku. Terang saja aku gelagapan. Hatiku bergetar melihat lelaki itu berhenti melangkah karena mendengar ucapanku.
“Mas aku hanya mau bilang, namaku Nuha. Rumahku tidak jauh dari sini. Jika kau mau silahkan mampir ke rumahku. Ibuku pasti senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini. Aku mengambilkan madu dari keranjang sepedaku, dan membaginya kepada Adnan.
“Tidak usah”
“Terimalah, tidak apa-apa”
Terpaksa Adnan menerima madu itu. Ia mulai menaiki sepeda motor melanjutkan perjalanannya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
HANYA SEBATAS RASA
RomanceBunga itu layu, padahal sudah ada yang berusaha menjaganya. Dirawat penuh kesabaran, tanpa letih. Namun, ia membutuhkan tangan lain untuk membuatnya mekar dan harum.