Prolog

77 11 5
                                    

Winter Flower •

...

Aku memejamkan mata untuk mencari ketenangan, bersamaan dengan goresan benda tajam yang terasa menusuk lengan kiriku. Darah sudah mengucur hingga membasahi karpet lusuh yang kududuki. Namun, aku sama sekali tak merasakan sakit, justru aku sangat menikmatinya. Setidaknya, dengan cara ini aku bisa mengalihkan kepenatan walau hanya sekejap.

Hal seperti ini sudah biasa kulakukan, terhitung sejak enam tahun lalu tepatnya. Berawal dari kematian ayah karena serangan jantung, hidupku menjadi lebih hancur dari sebelumnya. Sejak kecil aku sudah ditinggalkan ibu tanpa kabar, dan sekarang ayah pun meninggalkanku. Meski lelaki pemabuk itu tak pernah menganggapku sebagai anak, aku tetap menyayanginya dengan sepenuh hati.

Entah sebuah keberuntungan atau kesialan, aku yang saat itu tengah menangis di depan makam ayah tiba-tiba diajak oleh sepasang suami istri untuk tinggal di rumah mereka. Aku menurut karena keduanya sudah cukup dekat denganku. Dulu ketika ayah pergi bekerja, aku kerap dititipkan kepada keluarga tersebut.

Namun, harapanku yang ingin mendapat keluarga baru seketika musnah. Perlakuan keluarga itu sungguh berbeda, tidak seperti dulu saat ayah masih hidup. Aku diperlakukan amat kasar, semua pekerjaan rumah dilimpahkan padaku. Setiap aku menangis memohon, mereka malah memukuliku tanpa ampun.

Air mataku menetes saat mengingat kembali perlakuan kejam Keluarga Winata, terutama putra tunggalnya–Sergio Winata. Aku rasa lelaki yang terpaut dua tahun lebih tua dariku itu sudah tidak punya hati. Bisa-bisanya dia memanfaatkan gadis sepertiku untuk memenuhi isi dompetnya. Tanpa belas kasihan, dia mengirimku ke tempat-tempat haram yang dipenuhi lelaki dengan nafsu bejat.

Lukaku sudah cukup dalam, sepertinya aku harus menghentikan kegiatan ini sebelum tanganku benar-benar patah. Aku mendongak melihat jam dinding yang tergantung, teryata sudah menunjukkan pukul lima pagi. Malam tadi setelah mengerjakan tugas kuliah Kak Gio, aku hanya menghabiskan waktu untuk meratapi nasib yang terasa semakin buruk.

Ah ... memangnya kapan nasibku akan membaik? Sepertinya itu hanya impian yang tak berujung. Bagai mencari bunga musim panas di padang salju, mustahil.

Mengingat sinar mentari yang mulai menyingsing, segara aku bergegas menuju dapur untuk membuatkan sarapan. Dengan langkah gontai akibat kepala pusing, aku tak sengaja menjatuhkan salah satu guci kecil yang terletak di atas meja tempatku menopang tubuh. Aku panik, sungguh.

"Aileen Nayara Rahardjo!"

Tubuhku menegang mendengar nama panjangku disebut dengan nada dingin. Aku membalikkan tubuh menghadap seorang wanita paruh baya yang tengah melipat tangan di depan dada. Tatapannya seperti serigala yang hendak menelan mangsanya hidup-hidup. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, aku hanya berharap semoga mangsa serigala itu bisa selamat.

--o0o--

Hallo semuanya! Jangan lupa vote sama komen ya. Cerita ini kolaborasi antara NadaNisrinap dan gadisaksara

Semoga kalian semua suka dengan cerita kami.

©Lypanice

-8 April 2020-

Winter Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang