When The Nightmare Begin

29 5 0
                                    

Aku selalu punya mimpi yang sama, setiap malam, hampir setiap hari dalam beberapa tahun belakangan. Aku selalu terbangun bermandikan keringat menjelang pagi hari, tepat sebelum panggilan sholat bagi orang-orang muslim berkumandang.

Mereka yang tahu keadaanku menyebutku gila, kesurupan. Tak jarang mereka memberikan alamat-alamat paranormal yang "konon" dapat menyembuhkan aku dari mimpi ini. Ada juga yang memberikan kartu nama psikolog-psikolog hebat kenalan tetangga, karena menurut mereka aku ini punya gangguan mental yang sudah akut. Dari semua sudut pandang itu, aku menyimpulkan bahwa aku ini cacat. Setidaknya itu yang orang-orang pikirkan.

Aku, Mila Andara. Kini sudah berusia 17 tahun, tepat sebulan yang lalu. Hari-hariku tidak jauh berbeda dengan anak-anak lainnya. Setiap pagi bergelut dengan ego untuk segera bangun pagi dan berangkat sekolah. Di sekolah bermalas-malasan untuk mengerjakan tugas, kabur ke kantin saat tidak ada guru yang mengajar atau sekedar tiduran di bangku pojok perpustakaan. Pulangnya, aku mengejar angkot yang akan membawaku ke tempat les karena sekarang sudah masuk tahun terakhirku di SMA. Standar, tidak ada yang spesial.

"Mila, mau sampai kapan di kamar terus?"

Nenekku selalu menunggu untuk kami sarapan bersama setiap pagi. Dia segalanya. Sejak kepergian ayah dan ibuku, dia adalah satu-satunya orang yang menghampiriku dan mengajakku tinggal bersamanya. Bibi dan Pamanku tidak pernah menanyakan keadaanku. Ya, hanya dia.

"Hari ini kamu pulang malam lagi?" Nenek memulai "morning talks" kami seperti biasa.

"Yaa, maybe." Aku fokus pada makanan yang ada di depanku. Tidak menatap matanya sama sekali.

"Mila," Dia mendesah sebelum memulai kalimatnya kembali. Aku mendengus kesal, ini akan jadi ceramah yang panjang di pagi hari. "Kenapa nggak coba privat saja? Belajar dengan tutor di rumah. Biar kamu nggak perlu pulang malam lagi."

Aku mengangkat bahu sambil memutar bola mata. Tidak tertarik dengan tawarannya.

"Kamu inget kejadian tiga hari yang lalu, sebelum tetangga kita yang baru pindah?" Untuk kesekian kalinya, dia membawa topik yang sama di meja makan. Membuat perutku mual karena mengingat kejadian waktu itu.

Jam sudah menunjukkan angka delapan malam, saat itu aku masih dalam perjalanan pulang dengan angkot. Nenek bilang, dia memasak sesuatu yang spesial untukku. Perayaan kecil karena berhasil naik 2,5 poin dari hasil Try Out ku sebelumnya di mapel IPA. Aku sedikit excited, tapi entah mengapa justru merasakan sesuatu yang lain.

Saat sampai di depan gerbang rumah kami, aku terdiam sebentar. Melirik ke arah rumah sebelah yang sudah 2 bulan kosong dengan tanda 'di kontrakkan' itu sedang ramai. Aku akan punya tetangga baru, pikirku.

Pintu rumah terbuka, terlihat Nenek sedang berbicara dengan seorang perempuan. Mereka nampak mengobrol dengan ramah tamah. Nenek menyadari kehadiranku yang masih berdiri didepan gerbang, melambaikan tangannya menyuruhku untuk segera masuk dan menemui perempuan itu. Saat aku berjalan mendekat, perempuan itu berpamitan dengan Nenek lalu mengalihkan pandangannya ke arahku.

Entah bagaimana wajahnya terasa familiar. Senyum dengan deretan gigi rapih, putih dan bersih; dibalut dengan lipstik merah terang. Rambutnya hitam bergelombang besar, sangat panjang, hampir menyentuh pinggangnya. Tinggi menjuntai dengan dress berwarna kuning cerah selutut yang membuatku sedikit menengadah untuk melihat wajahnya. Dia terasa tidak asing.

Jantungku berdetak sangat cepat, membuatku sulit untuk bernafas dengan normal. Jari telunjukku otomatis tertuju pada wajahnya. Lalu semuanya menjadi gelap dan dingin, disusul kehadiran mimpi 'itu' dalam tidurku.

Aku menggelengkan kepala, cepat-cepat ku usir fikiran mengenai mimpi 'itu' dari otakku. "Mila baik-baik aja. Nenek ngga perlu khawatir." Ucapku sambil meminum air putih dalam gelas dan segera bangkit dari tempat duduk. Pamit untuk ke sekolah.

Nenek tidak berkata apa-apa atau mengejarku. Dia hanya duduk diam di tempatnya, melihatku menutup pintu dari kejauhan.

***

"Mila!" Suara perempuan memanggilku. Aku menghela nafas panjang, "Dia lagi?!" fikirku.

Aku hanya tersenyum ke arahnya lalu segera menghambur keluar dari area rumah.

"Mila!" sekali lagi dia memanggilku penuh antusias. Kini aku tidak mungkin untuk tidak menghiraukannya. Aku menutup pagar dan berhenti, menunggunya untuk menghampiriku.

"Kamu, kamu mau ke sekolah?" tentu saja, apa dia tidak bisa tahu hanya dengan melihat seragamku sekarang. Ugh, menyebalkan. "Kamu nggak tahu siapa tante?" tanyanya lagi.

"Tetangga baru. Tiga hari yang lalu pindah ke sebelah." jawabku ketus.

Entah kenapa sikapnya aneh, seolah menanti jawaban yang lain keluar dari mulutku. Dia menggenggam kedua tangannya erat sambil melihat ke kanan dan kiri, kemudian kembali menatapku. "Iya, mila benar. Tante tetangga baru kamu sekarang," dia mencoba meraih pundakku. Tubuhku otomatis bergerak mundur, menghindari sesuatu yang asing yang mencoba mendekat. "Tante harap kita bisa akrab ya, Mila." Aku hanya mengangguk kemudian berlalu meninggalkannya.

Ku pasang headphone kesayanganku sekalipun tidak sedang mendengarkan musik, kebiasaan lama karena tidak suka mendengar pembicaraan orang-orang terhadapku.

"Mila!"

Kembali ku dengar panggilan untukku. Kali ini dari sosok yang ku kenal. Pedagang nasi kuning di jalan yang ku lalui menuju tempatku biasa menunggu angkot, yang selalu ku hiraukan dari hari pertama aku bertemu dengannya.

"Mila! Hey, Mila!" Kenapa dia selalu memanggilku, fikirku sambil menggelengkan kepala. Pura-pura tidak mendengarnya. "Milaaaa!" dia masih memanggilku dari seberang jalan.

Aku berhenti dan menatap ke arahnya.

Pupil mataku melebar seketika. Wajah itu, senyum itu, rambut hitam bergelombang yang hampir menyentuh pinggang. Aku membungkam mulutku yang terbuka lebar karena terkejut. Mereka berdua, bibi pedagang nasi kuning dan tetangga baruku bak pinang dibelah dua.

Aku berlari menjauh. Keringat dingin mulai berjatuhan di dahiku. Masih menutup mulutku, aku segera naik ke dalam angkot yang akan membawaku ke sekolah. Tubuhku masih gemetaran sekalipun aku sudah berusaha untuk tetap tenang.

"Ada lagi..." gumamku.

Selain mimpi yang terus berulang, aku juga mengalami kejadian aneh sepanjang hidupku. Entah kapan kejadian pertama itu ku sadari, waktu menjadi sesuatu yang abstrak ketika berusaha mengingat masa lalu. Ketika aku sadar, bahwa dalam hidupku, aku selalu dikelilingi oleh orang yang sama. Perempuan itu, tidak hanya 'menjadi' tetanggaku, atau pedagang nasi kuning yang selalu ku lewati setiap pagi. Tapi juga, wali kelasku, ibu pedagang kantin, admin tempat les ku dan masih banyak lagi yang lainnya. Sosoknya seperti selalu mengikutiku, kemanapun aku pergi. Tante.. tante.. tante.. Dia selalu memanggil dirinya sendiri tante ketika berkenalan denganku. Aneh bukan?

Ratusan kali aku mencoba memberi tahu orang-orang di sekitarku, tapi tidak ada yang percaya. Seolah 'mereka' adalah manusia normal seperti yang lainnya. Bahkan, Nenek yang selama ini ku percaya tidak menggubris kata-kataku dan menatapku penuh rasa iba setiap kali aku membawa topik tentang 'mereka'.

Perempuan itu, sosok mereka yang nampak seperti doppelganger aneh adalah perempuan yang sama yang selalu muncul di mimpiku.

Mimpi tentang seorang perempuan hamil yang tergantung di kakinya sendiri dengan darah yang mengucur dari lehernya. Tertawa menyeramkan sambil menatapku. Dibawahnya tergeletak dua orang; lelaki dan perempuan, yang berdarah-darah. Perempuan itu selalu nampak seperti sedang berbicara mengenai sesuatu kepadaku. Namun, aku selalu terbangun tanpa benar-benar tahu apa yang dia katakan. Mimpi 'itu', perempuan 'itu', keduanya selalui menghantuiku hingga saat ini.

Memikirkan ini, membuatku pening. Langkah kakiku menuju kelas terhuyung-huyung tidak bersemangat. Ucapan 'tante' tetangga baruku terus menerus berdengung dalam kepala. Sepertinya, aku akan kembali pingsan kalau terus begini.

"Hey, kau melihatnya lagi?"

Aku sedikit tersentak karena bisikan yang tiba-tiba dari orang di sebelahku.

Haunted By BodiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang