Bab 1: Tragedi itu.

11 1 1
                                    

"Hiduplah dengan bebas! Bagaikan hewan liar dihutan belantara tanpa berani ada yang mengusik keberadaanmu." Dorago si petualang Tingkat S dalam buku yang mengisahkan petualangannya.

Itu adalah pedoman hidupku sampai saat ini. Dan pedoman itu kutemukan setelah membaca buku Karya Adaman mengenai petualang kelas S si pemburu naga, Dorago.

Untuk ukuran anak kedua dari keluarga bangsawan kelas menengah menjadi petualang bukanlah hal aneh. Sudah banyak anak dari keluarga bangsawan yang kalah dalam persaingan perebutan hak sebagai kepala keluarga menjadi petualang, pedagang atau mungkin begelut dalam hal politik negara.

Saat ini aku masih berusia 18 tahun dan itu masih beberapa bulan lalu. Dan aku baru saja akan dilantik menjadi calon pemimpin keluarga Debran. Sampai sebuah tragedi besar terjadi.

Berawal dari tradisi keluarga akan status pemimpin keluarga. Tragedi yang akan aku ingat terus sampai liang mati. Dan tragedi yang membuatku menjadi mempunyai ambisi.

Aku anak laki-laki kedua setelah kakakku yang juga laki-laki dikeluarga ini. Dengan tradisi keluarga yang menjelaskan bahwa saat keluarga memiliki lebih dari seorang anak laki-laki maka akan diadakan duel untuk menentukan siapa yang berhak menjadi kepala keluarga.

Saat ini aku sadar bahwa aku hanyalah seorang bocah yang tidak peduli akan hal seperti itu. Dipikiranku hanya dipenuhi akan hasrat berpetualang dengan bebas tanpa hal merepotkan akan masalah menjadi kepala keluarga.

Tapi tradisi tetaplah tradisi. Yang mana jika dilupakan maka akan menimbulkan kutukan pada generasi selanjutnya. Setelahnya, dengan bangga ayahku mengumumkan akan akan diadakannya duel. Aku sih tetap tidak peduli dan hanya latihan akan ilmu berpedang dengan pamanku beberapa minggu ini.

Dengan itu sebuah arena di ladang rumput tempat ternak dilepaskan dibuat sebuah arena sederhana dengan pagar kayu. Orang-orang kota sangat antusias. Pasalnya hal ini adalah hal yang sangat sakral menurut tradisi leluhur keluargaku dan Desa.

Walapun duel seperti ini sudah sangan wajar dan kerap dijumpai berkali-kali dalam kasusku ini sangat dinantikan oleh setiap orang. Kenapa? Karna ini memperebutkan nama Kepala Keluarga.

'Yang kuat yang berkuasa' itu adalah moto desaku. Setidaknya dipegang sampai generasiku saat ini. Entahlah jika berubah dimasa mendatang. Lagian siapa peduli.

Beberapa hari kemudian diadakanlah duel antara aku dan kakakku. Awalnya aku sudah berencana mengalah dari kakakku. Bukannya apa, kan sudah kubilang aku hanya ingin menjadi seperti Dorago saat itu. Menjadi petualang yang bebas.

Tapi semuanya kacau. Entahlah ini salah siapa, aku atau kakakku. Yang intinya, kakakku yang berusia 20 tahun itu malah memprovokasi bocah 15 tahun sepertiku. Astaga! Aku tau kau menginginkan kedudukan sebagai kepala keluarga. Tapi kan-!

Saat itu aku sampai emosi jadi tidak bisa mengendalikan perasaanku. Sampai aku melupakan rencana mengalahku. Haaah~ bodoh sekali. Rencanaku malah jadi berantakan. Tidak ada petualang dan kebebasan. Selamat datang Politik dan Uang.

Setelah duel saat aku menemui pamanku dihalaman belakang kastil. Wajah paman tampak merah dan memegangi perut kokohnya.

Saat aku khawatir dia terkena racun atau apa yang kudapati malah membuatku jengkel. Dia tertawa terpingkal-pingkal dengan memegani perutnya yang saat ini tampak bergetar. Sial! Doa menetawakanku.

"Pppfffttt.... hanya karna fakta kau ketahuan mengompol di usia 10 tahun kau terpancing emosi. Giyahahahah~"

Te~ lupakan saja hal barusan. Lagian itu juga hal yang menyebalkan untukku. Kenapa malah ingat yang seperti itu.

Satu minggu lagi akan ada penobatan kepala keluarga baru dengan mengundang keluarga bangsawan lain. Ditambah juga satu keluarga Duke dari Ibu kota. Tambah kacau saja rencanaku. Sial!

KeneitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang