"Widih, yang abis kejar tayang ngerjain tugas susulan..."
Deven hanya menatap Gemilang sekilas lalu membuka resleting tas miliknya—memasukan beberapa buku juga alat tulis yang telah ia gunakan untuk memenuhi tugas susulan selama sakit. Lelaki itu mendengus jengkel, "Lo nggak bilang ada presentasi Indo, sih... Tau gini mending nyumbang tenaga buat buat bikin Power Point daripada nulis rangkuman."
"Mana tega gue nyuruh lo ngerjain Power Point, masih mending ngejemput lo kesini buat bantuin gue jawab pertanyaan dari anak-anak."
"Sori, tapi letak mending-nya dimana ya?"
"Pokoknya kalo lo ada disini, seenggaknya gue nggak babak belur banget kaya kemarin. Anak sekelas udah mulai tau kalo i'm nothing without you."
"Jijik kali lah!" Deven menukas dengan logat Batak yang dibuat-buat—mengikuti cara Gemilang berbicara kala sedang kesal atau keceplosan menggunakan bahasa daerahnya; Medan.
Deven meraih benda pipih dalam saku celananya untuk mengecek jam. Suasana kelas sedang tidak kondusif karena bu Maria—guru Matematika dikabarkan berhalangan hadir hari ini. Hal tersebut membuat teman sekelasnya segera menempati posisinya masing-masing. Ada yang berputar bangku untuk melakukan sesi gibah harian bersama teman yang lain. Beberapa memilih untuk nobar, bermodal laptop dan sambungan wifi sekolah; bioskop low budget pun terealisasi. Sebagian lagi berpencar ke berbagai tempat, mungkin kantin? Mungkin lapangan? Entahlah.
"Mo kemana dah?"
Lelaki berperawakan gemuk itu dibuat heran kala Deven terlihat buru-buru memasukan ponselnya kedalam saku, "UKS, mendadak pusing lagi gue..." Keluhnya kala kepalanya terasa berat kembali.
Memang keadaannya belum terlalu pulih, suhu tubuhnya kadang bisa naik kembali sewaktu-waktu. Guna menghindari insiden yang akan merepotkan banyak orang, Deven memilih untuk istirahat sejenak di UKS. Setidaknya sampai jam pelajaran Matematika selesai.
"Oy, ati-ati! Perlu dianter gak?"
"Gausah, UKSnya deket tempat loker, kan?"
"Yoi!"
***
Bau antiseptik menyengat kala Deven membuka pintu UKS. Tempat ini terlihat sepi. Hal pertama yang Deven lihat adalah tiga tempat tidur yang diletakkan secara bersampingan lengkap dengan tirai penghadang disetiap jaraknya.
Penjaga UKS tidak ada ditempat, mungkin karena sedang sepi pasien hari ini. Setelah mengambil satu butir obat pereda sakit kepala dari lemari obat, lelaki itu berjalan menuju salah satu tempat tidur. Lengan kanannya membawa satu cup air mineral dengan sedotan yang sudah menancap tegas.
Setidaknya disini lebih baik. Tidak terlalu gaduh, juga tidak banyak aktivitas yang tertangkap oleh matanya. Hanya ada pemandangan alat-alat kesehatan, dinding bercat putih terang, serta....
Eh tunggu,
Deven mengedarkan pandangannya ke sekeliling UKS. Isakan pelan nan tertahan membuat bulu kuduk lelaki itu meremang seketika.
Enggak, ini masih siang. Pikirnya, mensugesti.
Namun nahas, isakan itu semakin terdengar jelas. Akhirnya Deven memberanikan diri berjalan pelan kearah tirai—semakin banyak langkah yang ia ambil, suaranya semakin dekat.
Tangannya perlahan meraih permukaan tirai berwarna biru muda itu. Dalam satu tarikan kesamping, Deven membuka seluruh bagian tirai—hingga menampilkan sosok gadis berseragam yang sedang duduk dengan pisau cutter yang hampir melukai pergelangan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letter From Ann
Подростковая литератураIni hanya kisah sederhana; Tentang perbedaan yang membuat kita dihadapkan dengan dua pilihan. Ini juga tentang rasa bimbang, karena terlalu takut menerjemahkan perasaan. Pada akhirnya, waktu tak bisa mempertahankan lebih lama lagi. Hanya ada dua ops...