03 | That Girl

279 36 10
                                    

Setelah kejadian itu, Deven jadi lebih sering meneliti satu persatu wajah yang ia temui disekolah.

Gadis itu sulit ditemukan. Entah karena tidak masuk atau lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyendiri di kelas, Deven tidak mengerti. Ia juga tidak ingin berburuk sangka kalau Anneth sudah benar-benar mengakhiri hidupnya. Toh, tidak ada kabar duka atau kehilangan sama sekali dari pihak sekolah. Jadi bisa disimpulkan; keadaan gadis itu setidaknya masih terbilang aman.

Lelaki itu mengaduk Es Jeruknya menggunakan sedotan.

Kedua matanya langsung mengarah pada satu titik, kala seorang gadis berkaos olahraga memasuki kawasan kantin. Gemilang yang tengah menyantap bakso dalam mangkuknya menyerit heran, "Liatin siapa, sih?"

Gemilang lantas mengikuti arah pandang Deven yang jatuh pada figur seorang gadis berkuncir ala ponytile yang sedang memilih minuman dari lemari pendingin. "Lo kenal Anneth?"

Tatapan Deven beralih kemudian menggeleng ringan, "Enggak, cuma sempet ketemu aja..."

"Ketemu?"

"Ah, nevermind. Dia siapa si?"

Deven kira ini saat yang tepat untuk mengulik lebih lanjut tentang gadis itu. Gemilang tidak terlihat curiga, ia segera menelan kunyahan baksonya lalu bercerita dengan intonasi pelan.

"Namanya Anneth, anak kelas sebelah. Setau gue dia anaknya ansos dari awal masa orientasi. Pinter juga, cuma ya... Nggak punya temen, karena katanya dia ambisius abis."

"Ambisius?"

"Iya, dia jadi juara umum selama berturut-turut disini. Sempet ikut olimpiade juga beberapa kali. Terakhir gue denger, dia kalah di Bandung. Bukan kalah si, tapi nggak biasanya aja dia ada di bawah yang lain."

Deven manggut-manggut, matanya masih diam-diam mengawasi pergerakan gadis itu. Ia terlihat mengambil tempat dengan jarak beberapa meter dari meja yang dihuni Deven dan Gemilang.

Gadis itu terlihat baik-baik saja.

Tidak seberantakan kemarin. Wajahnya masih terlihat sendu. Matanya sayu-namun tatapannya tidak kosong. Ia terlihat tengah memikirkan banyak hal.

"Lo tau Joa?"

"Siapa lagi tuh?"

"Anak kelas sebelah juga, rival-nya Anneth. Katanya sih, mereka lagi kejar-kejaran gitu buat tembus Kedokteran. Eh iya, Mama lo dokter, kan? Jangan-jangan lo mau saingan juga sama mereka?!"

Deven mendengus, "Apaan, dah! Emang kalo emaknya dokter, anaknya mesti dokter juga? Nggak tau gue... Belum nemu titik terang."

"Lagian ngapa sih nanyain tentang dia? Nih ya, kalo mau nyari ciwi, noh kaya si Marsha... Badai banget dia! Atau kalo mau sama yang imut, ada tuh si Lifia."

"Ngaco ah, lo! Ngomongnya kemana-mana. Udah buruan abisin baksonya, keburu bel entar."

Gemilang mendengus kemudian kembali menghabiskan sisa makanannya.

Sementara, Deven justru malah berharap kalau ucapannya tadi tidak benar-benar terjadi dalam waktu dekat.

Deven masih ingin disini. Memperhatikan gerak-gerik Anneth selama ada kesempatan untuk melihatnya. Lagi-lagi, ia merasa kalau ucapan Charisa memang benar.

Anneth mengalami mental ilness, dan sewaktu-waktu ia mungkin akan melakukan hal itu lagi.

Harusnya Deven tidak perlu repot-repot mengurusi hal seperti ini. Namun didukung oleh rasa penasaran, ia malah meyakinkan sesuatu dalam hati, kalau;

Letter From AnnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang