the hall is dancing

3.4K 335 51
                                    

Warning:: typos, ooc, cringe.

.

Tine tidak mengerti mengapa segala hal di malam itu akan berada di luar kuasanya. Tidak seharusnya seperti ini. Tidak seharusnya ia menurut begitu saja ketika tangan Sarawat tiba-tiba meraih miliknya untuk ditarik ke tengah aula untuk saling meliukkan tubuh dengan langkah yang sama seperti pasangan lainnya.

Tine bisa saja melepaskan cengkeraman jemari Sarawat di pergelangan tangannya dan berlari cepat menghindari si pemuda dingin, menjauh dari sosok yang entah mengapa selalu menatap tajam padanya. Seharusnya mudah. Seperti yang lalu-lalu ketika banyak uluran tangan memintanya jadi rekan berdansa.

Tapi apa?

Bahkan untuk bernapas saja Tine kesulitan ketika kulit mereka bersentuhan di ujung lengan. Pikirannya kosong, tapi secepat itu pula wajah, aroma juga suara hembusan nafas Sarawat memenuhi otaknya. Sarafnya lumpuh segera ketika punggungnya disapa sebuah telapak tangan disertai kurungan lengan Sarawat yang melingkari pinggangnya.

Dominan yang posesif.

Itulah informasi berharga dari orang-orang sekitarnya yang berkaitan dengan seorang Sarawat Gunthitanon yang sempat ia abaikan. Kini, rasanya sifat itu muncul begitu saja ketika Sarawat mendapati Tine berdiri sendiri di tengah pesta dansa setelah menolak ajakan pria dan wanita lain berulang kali. Sifat posesif yang begitu melekat pada jiwa sang pangeran akan keluar begitu saja dan seolah-olah mencekik Tine hingga kesulitan bernafas dan bergerak seperti sekarang.

"Pundakku, Tine."

"Apa?"

Pemuda itu tidak polos. Mengerti maksudnya, tapi kalah oleh keterkejutan akibat satu tangan milik Tine diletakkan paksa di bahu pangeran es di depannya. Otaknya yang sudah mulai bekerja kembali karena tatapan tajam penuh intimidasi milik seorang Sarawat membuat tangannya yang lain meraba tengkuk sang calon pasangan.

Pasangan berdansa. Itu saja. Tidak (ingin) lebih.

"Gerakkan kakimu."

Pun harus menuruti titah dominan sang pangeran yang ada dihadapan, Tine tetap saja salah langkah. Kakinya terseret, dengan wajah muram masam bercampur kepanikan. Itu pula yang menghasilkan decakan lidah Sarawat sebagai tanda ketidaksukaannya jika Tine abai pada perintah.

"Aku tak pandai berdansa. Oh, Wat! Aku akan terjatuh!"

"Maka berpegang lebih erat padaku dengan mulut yang diam."

Mengangguk gugup dengan badan gemetar, Tine patuh. Satu dua langkah berikutnya mulai benar, menimbulkan rasa bangga tersendiri baginya yang begitu amatir dalam hal dansa dan sejenisnya. Juga membuat senyum tipis timbul dari lengkung bibir si pemuda blasteran, pasangan dansa romantisnya. Tunggu. Kata terakhir membuat Tine segera mengutuk alam bawah sadarnya.

Tuts hitam dan putih itu masih ditekan sang pianis di ujung aula sekalipun kaki Tine ingin berhenti berputar-putar menginjak lantai marmer di bawahnya dengan situasi yang sama. Tine masih berada dalam pengaruh besar dominasi Sarawat yang berdansa dengannya, yang kini tengah memejamkan mata seolah menikmati suasana berbalut sebuah melodi asing dari piano hitam di sana. Sebuah lagu yang Tine sendiri tidak mengetahui maknanya. Hanya saja aura elegan dan romantis yang kental bisa Tine rasakan ketika mendengarnya.

"Mengapa tidak bertanya padaku dulu jika kau ingin berdansa denganku?"

Kelopak mata Sarawat terbuka ketika Tine mengajukan sebuah tanya untuknya.

"Aku tidak suka penolakan. Meskipun aku yakin kau tidak akan dan tidak pernah bisa menolakku."

Ya, benar. Sarawat yang congkak dan percaya diri masih berdansa dengan Tine di sana. Entah sampai kapan, tapi jika boleh ia ingin berhenti sekarang dan pulang. Tine ingin lenyap dari kerumunan orang-orang di aula ini, yang menatapnya tajam penuh iri karena pngeran mereka dengan mudahnya merangkul Tine. Pun ia juga ingin menghindari Sarawat, beserta dominasinya yang membuat Tine lemah dalam arti sebenarnya dan tidak.

"Jika kau kekasihku, aku akan menciummu dari ujung rambut hingga bayanganmu."

"Ya?"

Langkah keduanya terhenti begitu saja tanpa aba-aba. Dan hal itu membuat Tine menubruk tubuh tegap Sarawat dengan sedikit kasar. Sial. Ini tidak akan mudah. Membuat Sarawat marah karena kecerobohannya tidak ada dalam agenda bodoh Tine untuk malam ini. Selain berdansa dengannya, tentu saja.

Juga Tine sangat berharap dan memohon pada apapun di atas sana jika yang baru saja keluar dari bibir Sarawat hanyalah sebuah akibat dari kesalahan proses dalam indera pendengarannya. Atau yang paling parah, Sarawat mabuk dan meracau karena meneguk satu botol alkohol sebelum mereka berdansa. Terserah, yang manapun boleh.

"Aku bilang, aku ingin menciummu di sini dan kau jadi kekasihku mulai detik ini."

Tine berharap angin bisa membantunya menghilangkan kalimat Sarawat yang baru saja terucap hingga ia benar-benar tak bisa mendengarnya. Namun hembusan udara dingin tidak mampu mengalahkan deru nafas Sarawat yang berbisik di telinga Tine untuk mendominasinya. Malam itu, ditengah orang-orang yang masih berdansa di atas lantai marmer sebuah aula, Tine kehilangan kendali sepenuhnya ketika Sarawat menginginkan dominasi mutlak atas dirinya.

.

.

.

W/N: saya ini sebenernya nulis apa astagaaaaa. dan apakah bapak bright vachirawit ini tida cape ganteng mulu 24/7????

 dan apakah bapak bright vachirawit ini tida cape ganteng mulu 24/7????

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[SarawatTine] soffia la notte ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang