Asal Usul Sungai

112 24 22
                                    

 Tak setiap cerita berakhir bahagia. Tak setiap kisah berakhir dengan canda ceria. Ada duka dan lara yang wajib menemani cerita tersebut. Bahkan terkadang duka lara itu diletakan di epilog cerita. Bukannya ingin menjayakan duka dan lara itu di setiap imijinasi para pembaca, namun agar kelak mereka bisa mengambil emas dalam kubangan lumpur yang bernama kegagalan dan kesedihan. Karena yang putih tak selalu putih dan yang hitam tak selalu hitam.

 Ketika selesai membaca sebuah cerita yang dimana berakhir dengan kesedihan. Seketika logika kita mencerna bahwa seharusnya ada sesuatu yang harus tokoh itu lakukan agar epilog cerita tersebut tak seperti apa yang ditentukan penulis. Bukankah itu semua adalah pelajaran? Apakah itu semua bukan nilai lebih? Bukankah cerita yang berakhir dengan kesedihan jauh lebih bernilai dari cerita yang berakhir dengan senyum dan tawa? butuh waktu yang cukup lama untuk mengontrol emosi untuk tetap dingin ketika membaca suatu cerita yang berakhir tragis. Namun kenapa masih banyak manusia yang terlaru berlarut dalam akhir kisah? itulah musabab kenapa di tanah pertiwi ini masih terlantaran anak – anak tak berdosa yang hilang arah karena orang tuanya larut dalam kesedihan. Orang tuanya tenggelam dalam lautan penyesalan namun mereka tak menggunakan pelampung yang ada. dan pelampung itu bernama logika. Mereka terlalu panik  lantas membuangnya seolah tak berharga. dan anak kecil mereka lah yang menjadi imbasnya.

Masa depan memang tak ada yang tahu. Tuhanlah yang menentukan. Namun bagaimana jika semua scenario kehidupan ini sudah tampak jelas di depan mata kalian? Seolah – olah tuhan membocorkan ini semua. dan semua bagian yang akan kujalani hanyalah bagian bagian pahit dalam dalam kehidupan.  Buah dari putus asa, putus harap, putus khayal, putus angan dan putus mimpi. Scenarionya sudah jelas, namun bukan berarti itu semua tak bisa diubah. dan sepertinya aku tak yakin bahwa mahluk sepertiku ini dapat mengubah nasib yang berat dan besar seperti apa yang akan menjalaniku dikemudian hari.

 Dari awal aku keluar dari Rahim ibuku. Semuanya sudah terlihat. Pada umur 2 bulan kecilnya aku sudah tidak merasakan asi ibuku sendiri. Aku di hanyutkan sendiri oleh ibuku ke sungai. Air sungai yang kotor, sempat tertelan karena aku hanyut dibuang entah apa musababnya oleh ibuku sendiri. Manusia yang kuanggap malaikat namun lebih buruk dari iblis. Manusia yang kuanggap pahlawan namun lebih kejam dari penjajah. Manusia yang kuanggap penuh kasih sayang namun hatinya kotor usang bernoda.

 Semenjak aku lahir didunia ini mimpi bagiku hanyalah omong kosong. Usai senang pasti sengsara yang mendalam. Berimajinasi, ya, hanya itu yang bisa kulakukan demi mengobati hatiku yang sudah keruh. Kala tubuh ini terhanyut, aku benar benar tak berharta, tak bertenaga dan tak berdaya. Pakaian ku hampir sama seperti yang akan ku kenakan nanti kala nyawa ini diangkut oleh tuhan, hanya saja pakaian ku ini berwarna, bercorak lucu seolah olah corak itu ingin menghiburku namun apa daya tak ada yang dapat menghiburku sekarang terkecuali pertolongan tuhan dengan mengirimkanku uluran tangan dari seseorang yang siap menampungku dan tak kenal malu untuk merawatku. Tak ada yang lain, hanya itu.

 Saat itu temanku hanyalah sampah yang berhanyutan terbawa arus sungai. Terkadang ada kotoran manusia yang berlalu lintas disana. Adapula kecebong – kecebong mungil yang mengajakku bermain. Benar benar permulaan kehidupan yang tak layak untuk seorang manusia, bahkan untuk apa saja yang bernyawa didunia ini.

 Kala pikiran ku belum berfungsi. Tuhan mengabulkan apa yang aku butuhkan meski hanya lewat naluri manusia. Dia adalah seorang ibu keduaku, bernama Tina , manusia super di hidupku tak pandang bulu. Manusia yang rela mengulurkan tanganya seperti apa yang kuharap sebelumnya. Berhati luas nan elok. Parasnya cantik, dan bahkan suaranya lembut. Rambutnya panjang nan hitam pekat. Semua kata - kata yang keluar dari mulutnya tak pernah menggambarkan emosi. Bahkan kita dapat menikmati betapa hangatnya kasih sayang  jika kita berada dalam pelukannya. Ialah yang ku anggap ibuku sendiri karena aku terlahir dari Rahim sungai bukan dari Rahim manusia kejam biadab tak berotak.

Anak SungaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang