Bagiku cinta adalah tawa. Cinta adalah kebahagiaan. Cinta adalah keluarga dan sahabat. Aku dilahirkan di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk pikuk kota Tasikmalaya. Desa Cibanteng dengan segala keindahan alamnya yang mempesona. Kata Umiku saat beliau mengandungku, beliau selalu meminta abah menemaninya ke sungai yang tidak jauh dari rumah kita. Umi bilang umi selalu menyempatkan waktu datang ke sungai untuk sekedar melihat matahari terbenam. Abah juga bilang kalau umiku sangat menyukai senja yang selalu mereka lihat di pinggir sungai bersama. Itu sebabnya namaku Senja. Senja Nadya Annizar.
Aku terlahir sebagai anak bungsu. Aku memiliki dua kakak laki-laki yang sangat menyebalkan. Kakakku yang pertama bernama Muhammad Aidan Arrasyid. Dia adalah idaman teman perempuannya semasa sekolah. Sampai ada satu teman wanitanya yang memberiku boneka hanya untuk mendapatkan perhatian kak Aidan. Kakakku yang nomor dua beda dengan kak Aidan. Muhammad Akbar Arrasyid, manusia terjahil di muka bumi ini. Aku heran umi dulu saat hamil kak Akbar nyidam apa yah. Ada orang nyebelin, jahil seperti dia. Haha tapi aku tetap sayang mereka berdua.
Tahun ini adalah tahun terakhirku menjalani kehidupanku sebagai siswa SMA. Masa putih abu-abu ku akan segera berakhir. Akan seperti apa kehidupanku selanjutnya. Entahlah tidak ada yang tahu akan ada apa di masa depan.
Seperti malam biasanya. Ritual keluarga kami adalah makan malam bersama. Menurutku makan malam bersama membuat keluarga kami semakin dekat. Sayangnya malam itu kak Aidan tidak bergabung dengan kami. Karena dia sedang berada di luar negeri. Di Amerika Serikat tepatnya. Tepat setengah tahun yang lalu, kak Aidan mendapatkan panggilan kerja di sebuah perusahaan pembuat pesawat dan aeroangkasa, bermarkas di Chicago, Illionis, Amerika Serikat.
“Bah, Senja ingin kuliah di Bandung tempatnya Eyang.” Aku menyeletuk memecah keheningan dengan mulut yang masih mengunyah makanan. Umi yang duduk tepat di sebelahku langsung menegurku. “neng ulah kitu atuhh.. kalau lagi makan tidak boleh sambil bicara.” lekas melanjutkan makannya. Suara yang keluar dari mulut Umi bagaikan sebuah mantera. Kalimat ajaib Umi membuatku terdiam dan melanjutkan kembali makan. Ritual makan malam selesai. Aku tidak sabar mendengar jawaban abahku. Aku putuskan untuk menanyakan kembali. “Abah…kumaha? Boleh teu neng lanjut kuliah ke Bandung dekat rumahnya Eyang..hehe.”
“Neng kamu itu loh baru saja abah selesai makan langsung kamu serang pertanyaan lagi.” Sahut kak Akbar dengan mengusapkan tangannya ke kepala Senja.
Mencoba menghela tangan kak Akbar“ihhh aa mahh nyerobot ajah udah kaya kereta api.”
“ya lagian kamu abah kan baru saja selesai makan neng geulis….kamu duduk dulu sini tidak baik anak gadis berbicara dengan orang tua sambil berdiri.” Kakakku memang paling bias merayu adiknya. Lantas aku segera duduk di samping abah dan kak Akbar.
“sudah tidak usah rebut abah jawab besok saja ya neng.. sekarang neng belajar dulu terus kamu akbar temenin abah ke rumah pak RT.” Sahut Abah sambil bersiap mengenakan jaket favoritnya menuju ke rumah pak RT.
Abah dan kak Akbar, langsung menuju rumah Pak RT. Selang beberapa menit kemudian ada orang asing yang tidak aku kenal datang bertamu. Matanya sipit, kulitnya putih dia seumuran dengan abah. Karena penasaran aku mendekat ke umi menatap wajah orang asing itu. Mencoba mengingat. Namun gagal memoriku mengembalikan ke amsa lalu. Benar saja dia terakhir bertemu denganku saat aku masih Bayi.
“ini Senja yah.. sudah besar sekali kamu neng dulu terakhir Om lihat kamu masih bayi sama seperti anak Om.”
Orang asing itu menyapaku dan mengusap kepalaku. Siapa dia sebenarnya. Yang ku lihat dia seumuran dengan abahku. Malam itu beribu pertanyaan muncul di sela-sela kepalaku. Siapa orang asing itu. Aku mencoba mengalihkan pertanyaan yang muncul di kepalaku dengan terus belaja. Meski sesekali aku mencuriwaktu untuk mendengar percakapan orang itu dengan umiku. Tidak lama kemudian Abah dan kak Akbar pulang. Benar sekali Abah terlihat akrab dengan orang asing itu.
“Assalamu’alaikum… masyaAllah kang Damar, kapan datang ke sini? Sudah lama?” Abah merangkul orang asing yang bernama Om Damar itu.
“sehat mas aku sehat Alhamdulillah..belum lama kok mas..oiya rencana kita yang pernah kita bahas dulu sudah aku bicarakan dengan Mbak Lili.” Lili Anisah nama Umiku. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Semuanya membuatku penasaran. Setelah berakhir perbincangan mereka. Om Damar pamit pulang. Sebelum pulang beliau menghampiriku yang sedang belajar di meja belajarku mengusap kepalaku dan tersenyum tanpa mengucap sepatah katapun. Perlahan orang asing bernama Om Damar itu hilang dari pandanganku. Tanpa diminta seolah ada kabel yang terhubung antara umi dan aku, Umi langsung menceritakan siapa Om Damar. Kata Umi, Om Damar adalah sahabat Abah sewaktu mereka duduk di bangku SMA. Abah dan Om Damar sempat nyantri bareng. Sampai akhirnya Om Damar menikah dengan anak kyiainya dan menetap di Semarang. Sedangkan Abah tetap bertahan di tasik dan mempertemukannya dengan Umi sampai akhirnya Abah dan Umiku menikah. Om Damar kembali ke Tasik karena ingin kembali tinggal di kampung kelahirannya. Om Damar tidak seberuntung Abahku. Isterinya meninggal saat melahirkan putra semata wayangnya. Selama 16 tahun beliau membesarkan putranya sendiri. Dan akhirnya memutuskan untuk kembali pindah ke Tasik.