PART_1 MBAH TO

6 0 0
                                    


"Habiskan makananmu Nduk, nanti ayamnya nangis!" Suara tegas dibelakang mengagetkanku dan dengan buru - buru kuhabiskan sisa nasi dipiringku meski rasanya sudah nyaris muntah karena terlalu banyak mengambil nasi. Satu kesalahan berulang dan fatal yang sering kulakukan adalah selalu mengambil porsi makan terlalu banyak padahal ada aturan dirumah ini kalau tidak boleh membuang makanan meski satu butir nasipun!

Namanya Parto Suwito . Aku biasa memanggilnya Mbah To karena dia adalah ibu dari ayahku. Wanita itu sangat cantik menurutku, bahkan aku yakin dimasa mudanya pasti banyak pemuda yang menaksirnya. Diusianya yang nyaris 83 tahun bahkan masih jelas kentara jejak kecantikannya, tubuh langsing tinggi semampai, kulit putih bersih dan wajah indo khas keturunan Belanda. Ya, Mbah To ini masih ada darah Belanda dan itu menambah poin kecantikan parasnya yang berhidung mancung dan berkulit putih mulus meski kulitnya mulai dimakan keriput.

Tapi bukan itu yang akan kuceritakan. Meski aku sangat mengagumi kecantikannya bahkan ketika melihat penampilannya aku sering berpikir bagaimana mungkin di era perempuan sekarang yang berlomba memakai celana panjang tapi Mbah To ini masih setia dengan "Jarit" dan kebayanya serta sanggul mungilnya. Tapi itulah Mbah To. Unik.

Beliau ini orangnya sangat disiplin dan keras, beliau taksegan menghukum kami bila kami berbuat sesuatu yang melanggar etika meski menurut kami itu adalah hal yang wajar tapi tidak buat Mbah To.

Dan sebagai cucu terkecil dari putra bungsunya tentulah beliau sangat memperhatikan aku. Beliau suka memanggilku "Nduk", panggilan khas untuk anak perempuan kecil di Jawa.
Dulu setiap libur sekolah bisa dipastikan aku akan "dikirim" ke rumah beliau oleh ayahku. Jangan berpikir karena aku cucu terkecil lalu aku akan dimanja....Nooo.tidak sama sekali. Tidak ada dalam kamus Mbah To memanjakan kami para cucunya meskipun aku cucu terkecilnya. Semua sama.

Mbah To ini tipikal orang yang sangat disiplin dan penuh aturan.
Dulu saat aku makan sering sekali aku menggoyangkan kaki dibawah meja, dan itu sudah cukup membuat beliau marah dan menegur dengan suara khasnya yang berwibawa,

"Ayo Nduk, kakinya diam atau akan hilang dibawa setan !" Dan biasanya itu cukup manjur untukku langsung menghentikan goyangan kakiku. Bukan takut hilang dibawa setan, tapi lebih takut bila Mbah To menghampiriku dan menendang kakiku.Rasanya itu lebih sakit daripada dibawa setan.

Banyak sekali aturan "Jawa" yang beliau terapkan pada semua cucunya meskipun sudah lama sekali didikan itu tapi setidaknya cukuplah mendidikku menjadi perempuan yang tau "etika".

Kami cucu perempuannya takboleh tertawa lebar, hanya boleh tersenyum. Takboleh membuang makanan, takboleh makan dengan suara berbunyi atau berdecak, setiap makan mata harus tertuju pada apa yang kita makan dan masih banyak aturan lain.

Apa aku tak pernah protes dengan aturan itu?? TIDAK PERNAH.bahkan sepupuku Mas Randi yang jago berantem diluaran bila berhadapan dengan Mbah To pun tiba-tiba bisa berubah menjadi "ayam sayur" yang cuma bisa diam tanpa perlawanan sedikitpun saat Mbah To menatapnya.

Tau kenapa? Asal tahu saja, tatapan Mbah To itu dingin banget. Tajam dan rasanya Angker sekali. Aku takpernah berani menatapnya.

Jangankan protes, bicara dengan beliaupun rasanya nyaris semua cucunya takpernah berani  menatap mata beliau. Kharismanya benar-benar menundukkan jiwa "kebengalan" kami.

Dulu ayahku senang sekali menitipkan aku di Mbah To, mungkin ayah pikir aku bahagia karena aku takpernah menolak padahal yang sebenarnya aku stres setiap menghadapi liburan dan membayangkan akan menghabiskan masa liburanku dirumah Mbah To. Tapi aku mencoba menikmati karena aku tidak sendiri.

Entah kenapa saat itu para Om dan Tante juga senang sekali mengirim para sepupu untuk tinggal dirumah mbah To setiap libur sekolah seperti aku. Mungkin pikiran mereka sama dengan ayahku bahwa cuma Mbah To yang bisa mendidik kepribadian kami dengan baik.

Dan rasanya memang kemampuan Mbah To sudah melebihi dari guru dan sekolah kepribadian dijaman sekarang, rumah Mbah To yang luas ibarat asrama sekolah yang selalu penuh dengan cucunya setiap libur sekolah....dan dengan segitu banyaknya cucu rasanya Mbah To tidak kesulitan menghadapi kami karena kami tak ada yang berani melawan, paling cuma ngomel ketika tidur malam dan terbebas dari tatapan tajam Mbah To.

Seperti siang itu, sepulang sekolah aku ke tempat Mbah To dengan kondisi takenak badan. "Nggreges" kalau kata orang  Jawa bilang. Mbah To langsung memberi makan, memijat badanku, membalur tubuhku dengan ramuannya  dan menungguiku tidur. Menunggui? Iya, rasanya kalimat itu yang paling tepat karena beliau tidak sekedar menemani dan mendongeng untukku.
Kalian pasti berpikir setelah aku tidur Mbah To akan meninggalkan aku. Hihihi....tidak seperti itu Kisanak!! Yang terjadi adalah, beliau tetap duduk dengan anggun dipojok ranjang ku. Iya, duduk tenang dan anggun tanpa bersandar pada tembok!! Aku sampai heran terbuat dari apa hati dan fisiknya sampai sekuat itu menungguiku tidur.Dan dia akan menatapku tajam bila aku taksegera menutup mataku untuk tidur, bisa dipastikan itu sangat menakutkan bagi kami para bocah.

Aturan lain yang kadang sering membuatku malas adalah perawatan tubuh untuk cucu perempuannya. Aku bukan tipe perempuan seperti sepupuku Lany  yang feminin dengan rambutnya yang super panjang dan lembut. Tapi sekali lagi, Mbah To itu tidak bisa dilawan. Aku harus tetap rela menjalani perawatan pribadi dengan rambut di minyak kemiri atau lidah buaya, tubuh luluran,  dan  rajin minum rebusan daun beluntas atau sirih untuk menghilangkan bau badan ataupun cuma jamu kunir asem. lagi-lagi meski taksuka tetap harus kujalani karena semua sudah disiapkan oleh Mbah To. Kami takbisa menolak.

***Bersambung

Perempuan itu bernama Mbah ToTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang