PART_2. BERBEDA

2 0 0
                                    


Hari ini adalah hari ke empat aku tidur dirumah Mbah To. Aku libur sekolah seminggu dan aku menghabiskan liburanku dirumah Mbah To seperti biasa.Tapi kali ini aku sendirian, taksatupun sepupuku yang nampak liburan di rumah besar Mbah To. Aku yakin mereka punya seribu satu alasan menolak liburan di Mbah To, tidak sepertiku yang hanya manut setiap apapun yang ayahku suruh.

"Bereskan tempat tidurmu, Nduk!" Suara Mbah To menyapaku di pintu kamar pagi itu,

"Sampun Mbah" kataku menunduk, kulirik Mbah To saat melongokan kepalanya sedikit ke kamarku. Beliau menganggukkan kepala, diam lalu berjalan ke ruang depan sambil membawa kotak sirihnya tanpa berkata lagi. Aku membuang nafas lega. Aku baru saja membalikkan badan hendak ke dapur saat kudengar suaranya pelan memanggilku,

"Sini Nduk, temani Simbah" aku menoleh heran, tak biasanya beliau minta ditemani. Aku mendekat dan beringsut berjalan jongkok mendekati beliau lalu duduk dilantai dihadapannya. Ya, satu lagi kenyataan bahwa kami cucunya takada yang berani duduk dalam satu deret kursi dengan beliau, kecuali beliau yang meminta. Kami akan duduk dilantai dengan terlebih dahulu berjalan jongkok layaknya prajurit yang hendak menemui rajanya. Lagi-lagi kami takpernah protes.

Kulihat Mbah To membuka Kotak sirihnya, kotak yg indah bergambar ukiran seorang putri Kraton berbusana serba hijau. Selera beliau memang bagus. Didalam kotak itu ada segulung tembakau dan kapur serta tumpukan sirih. Beliau memang suka sekali makan sirih atau dalam bahasa kami disebut "nginang". Meski nantinya mulutnya akan terlihat merah seperti vampir yang habis menggigit mangsanya...hahaha.

Kuperhatikan lekat-lekat Mbah To sambil kupijit pelan kakinya. Kulihat dia meracik sirihnya tanpa bersuara lalu tiba-tiba mengangsurkannya padaku,

"Cobanen!" Katanya. Yang artinya dia menyuruh aku mencobanya.

Aku ragu tapi akhirnya memutuskan untuk menerimanya dan memasukkannya kemulutku. Sepet dan getar rasa mulutku saat mengunyah gulungan sirih itu....aku mengernyit menahan rasa mual dan ingin muntah.

Tiba-tiba kudengar Mbah To tertawa terbahak... Kulihat deretan gigi putihnya masih rapi berjajar saat beliau tertawa. Aku manyun dan mengeluarkan sirih dari mulutku, Mbah To mengangsurkan beberapa lembar tisu padaku.

Aku kaget, baru kali ini aku melihat Mbah To tertawa bahkan sampai terbahak seperti tadi, padahal buat kami tertawa terbahak itu jelas satu larangan. Kurasa Mbah To sedang diliputi rasa begitu bahagia hingga lupa dan melanggar larangannya sendiri.

Aku mengelap mulutku dengan tisu sambil mengeluarkan ludahku di tisu yang dikasihkan Mbah To tadi, dan aku sempat melirik beliau tepat saat Mbah To sedang menatapku lekat, aku seperti melihatnya berbeda. Dia takmenatapku tajam tapi tatapannya kali ini lembut sekali. Dan tiba-tiba aku merasa ada debar lembut menyelimuti hatiku. Entahlah.aku merasa ada sesuatu yang berbeda hari ini. Aku menunduk takut.

**Bersambung

Perempuan itu bernama Mbah ToTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang