Beberapa hari kemudian aku pamit pulang ke rumah karena lusa harus sudah kembali bersekolah. Mbah To sedang istirahat dikamar saat aku hendak berpamitan dan oleh asistennya aku dilarang mengganggu, aku disuruh mengundurkan jadwal kepulanganku. Aku menurut. Baru saja hendak melangkah pergi ketika dari dalam kamar terdengar suara khas beliau memanggilku. Aku mengetuk pintu kamarnya pelan dan kemudian masuk ke dalam kamarnya yang wangi harum kayu cendana. Kulihat beliau dalam posisi berbaring di ranjangnya yang selalu rapi dan bersih. Terlihat jelas wajah cantiknya semakin bersinar dengan rambut tergerai. Aku melongo terpesona."Ada apa Nduk?" Tanyanya lembut penuh tekanan yang membuyarkan pikiranku tentang kecantikannya,
"Eeeh....Kiki mau ijin pamit pulang Mbah. Besok sudah harus sekolah" Mbah To mengangguk dan mengangsurkan tangannya. Kucium takzim tangan keriput itu dan tiba-tiba beliau memberi kode untuk aku mendekatkan kepalaku. Beliau mencium keningku lembut dan mengusap rambutku dengan rasa yang aku sendiri takbisa menjabarkannya. Aku bergetar tapi aku bergegas pergi saat Mbah To mengangkat tangan memintaku cepat keluar dari kamarnya.
***
Hari berganti hari aku sibuk dengan rutinitas sekolahku dan lama sekali takmenginjakkan kaki di rumah Mbah To. Hanya kadang sesekali ayah yang menengok beliau dan pulang membawakan oleh-oleh yang katanya dari Mbah To khusus untukku.
Aku masih ingat, siang itu aku baru saja terlelap tidur dan terbangun saat mendengar suara gaduh sepupuku di luar kamar. Dengan penasaran aku bangun dan keluar,
"Hai berisik!! Ada apaan sih pada disini?!" Seruku merasa terganggu. Kulihat seluruh sepupuku berkumpul diruang tengah rumahku. Mereka kompak menatapku lalu terdiam tiba-tiba. Aneh. Lalu Mas Fajar, sepupuku yang paling tua mendekatiku, memelukku lalu berbisik,
"Mbah To baru saja jatuh di kamar mandi, kita mau kesana menengoknya."
"Jangan bercanda Mas! Ndak lucu" Aku mendorong mas Fajar dengan kaget, kemudian menengok sepupu yang lain.Mereka mengangguk sedih.
Takperlu waktu lama untukku bergegas berganti baju dan melesat pergi ke rumah sakit bersama mereka. Buatku berita itu sudah cukup membuatku sesak dan berharap Mbah To tidak apa-apa. Tiba-tiba aku rindu sosok beliau.aku menyeka bulir bening yang menyembul di sudut kedua mataku sambil terus berdoa untuk keselamatan Mbah To.
Sampai di rumah sakit ternyata Mbah To baru saja pulang ke rumah. Menurut perawat yang kami temui, Mbah To pulang paksa karena Mbah To ingin dirumah saja meski sudah ditahan oleh banyak orang untuk tetap dirumah sakit tapi Mbah To tetap memaksa pulang. Kamipun tancap gas ke rumah Mbah To.
Dari jauh tampak terlihat halaman rumahnya yang rindang dan luas sudah penuh dengan orang dan mobil, aku berdebar dan sibuk komat kamit berdoa semoga Mbah To takkenapa-kenapa. Takadanya bendera kuning yang berkibar diluar rumah membuatku sedikit tenang dan mampu menghilangkan pikiran burukku. Sepanjang berjalan kaki sejak turun dari mobil sampai masuk kedalam rumah rasanya waktu berputar lambat sekali, usapan tangan Mas Fajar diatas kepalaku sedikit menguatkan aku. Aku melihat Ayah duduk terpekur didepan kamar Mbah To. Ayah bangkit saat melihatku, beliau memelukku erat,
"Doakan yang terbaik untuk Mbah To ya Nduk. Mbah sudah nggak mau makan dan hanya berdzikir dari tadi" aku merasa pundakku dingin, ada basah disana. Aku yakin dalam hati ayah ada sedih takterkira saat melihat orang yang paling berharga di hidupnya sedang dalam posisi tidak baik-baik saja. Kubiarkan ayah menangis sambil memelukku. Dan aku? Aku hanya mematung tanpa bisa menangis sedikitpun. Yang kurasakan hanya jiwaku seperti setengah melayang.
Setengah jam kemudian dokter Rama keluar dan mempersilahkan putra Puteri Mbah To untuk masuk ke kamar. Sambil menunggu ayah keluar dari kamar, aku sibuk berdoa. Segalak apapun Mbah To pada kami cucunya tapi beliau adalah Simbah kesayangan kami. Kami jelas sedih mendengar keadaan beliau saat ini dan berharap kondisi beliau membaik.
Sesaat kemudian satu persatu ayah dan saudaranya keluar dari kamar Mbah To, takada suara sedikitpun dari mulut mereka. Hening. Hanya sesekali isakan kecil keluar dari bibir Tante Ratna dan Tante Niken. Kini tiba giliran kami para cucunya yang kemudian disuruh masuk menemui Mbah To.
Di dalam kamar tampak Mbah To terbaring dan tersenyum, tampak sedih meski aku tahu beliau mencoba menutupinya. Kami semua bergantian menyalaminya dengan tertib dan tanpa kata tapi wajah sendu kami sudah menyiratkan betapa kami sangat sedih melihat kondisi Mbah To yang melemah. Tak terlihat lagi tatapan dinginnya, takada lagi langkah kakinya mengawasi kami.
Mbah To takbanyak bicara seperti biasa, beliau hanya sedikit menitip pesan untuk kami saling menjaga. Aku melirik pada Lany, kulihat dia susah payah menahan isakannya agar takkeluar meski sesekali tetap terdengar. Akhirnya kami keluar saat Mbah To bilang lelah dan ingin istirahat, asisten Mbah To menggiring kami keluar dengan tenang. Mbah To menahanku pergi saat aku hendak keluar. Dia mencium keningku lembut dan berbisik,
"Jadilah wanita yang kuat ya Nduk" aku hanya mengangguk tanpa tau apa maksud pesannya itu. Dan aku baru menyadari pesannya tersebut beberapa puluh tahun kemudian saat aku terhempas pada satu ujian kehidupan yang mengharuskanku untuk bertahan meski nyaris menyerah kalah. Pesan itu sangat berharga untukku.
Selang 2 jam kemudian Mbah To pergi selamanya dalam diam. Sendirian, dikamarnya dan dengan sebuah senyum teduh diwajahnya seolah menyapa Malaikat pencabut Nyawa dengan begitu ikhlas.
Tangis taklagi tertahan. Pecah sudah airmata kami semua. Aku terisak dalam pelukan Ayah yang juga bersimbah airmata melepas satu nyawanya terbang menghadap sang penciptanya. Kami mengantarkan Simbah kesayangan kami dengan begitu berat, ada rasa takrela namun kami ingat Mbah To tidak pergi kemana-mana, dia hanya pergi menemui Sang Pemilik jiwanya, illahi Robbi.
Sampai di tanah pemakamannya aku takmau pergi meski ayah mengajakku untuk pulang. Aku meminta ayah meninggalkanku sendiri dan menungguku di mobil saja. Pemakaman telah sepi dan aku masih bersimpuh disebelah makam Mbah To, masih terisak memeluk nisannya, meraba gundukan makamnya yang masih basah.Rasanys masih takpercaya orang yang begitu kukagumi begitu cepat pergi.
Masih terbayang jelas saat beliau tertawa terbahak melihatku mengunyah sirih, masih teringat saat beliau kerepotan menjemputku ke sekolah saat Bu guru mengatakan aku sakit. Ah rasanya semua kenangan itu takbisa kutukar dengan penghargaan apapun. Mbah To adalah Simbah terbaikku, orang yang menyadarkanku bahwa menjadi seorang wanita itu tidak mudah dan tidak cukup hanya pintar di otaknya. Menjadi wanita harus bisa menjadi madrasah tempat mencetak generasi terbaik berakhlak mulia, harus juga memiliki hati yang sabar dan bisa menjadi orang yang paling dicintai dan dikagumi oleh anak-anaknya. Karena pada seorang Ibulah cinta anak-anaknya akan kembali.
Selamat Jalan Mbah To....
Cucumu akan terus mengenang mu meski sampai diujung usiaku.
Senja turun bersamaan dengan rintik gerimis saat aku beranjak pergi meninggalkan tempat pemakaman Mbah To yang mulai terasa dingin. **************Selesai********
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan itu bernama Mbah To
General FictionPerempuan Jawa yang begitu anggun dan berhasil menjadi idola untuk cucu dan anaknya meski memiliki sifat begitu kuat dan kaku.